Gadis yang selalu ceria dan hobi tebar senyum ini memasukkan beberapa baju ke dalam tas, lalu jepit rambut─ia wajib mambawanya jika ingin bertemu Izou dan Haruta─dan beberapa manga.
Mari sengaja tidak membawa laptop karena dia ke sana untuk berlibur, bukan untuk menyibukkan diri dengan laptop. Marco juga sering mengatakan, jika berlibur, tinggalkanlah apa yang akan mengganggu liburanmu. Sudah jelas ojisan-nya itu merujuk pada laptop.
Uuuu, lagipula dirinya sangat yakin tidak akan punya waktu dengan laptop saat berada di sana. Shirohige Mansion itu sangat besar, mungkin sama besarnya dengan bangunan sekolahnya. Terlebih lagi, penghuni rumah itu juga orang-orang yang akan selalu membuat dirinya sibuk. Meski anak-anak dari kakeknya sudah punya tempat tinggal pribadi, tapi Shirohige Mansion tetap menjadi pilihan utama mereka tinggal.
Mungkin karena kebanyakan dari mereka belum menikah, ya. Usia mereka semua sudah di atas tigapuluh tahun tapi belum ada satu pun yang memutuskan berumah tangga, entah mereka terlalu sayang kepada Shirohige-jii atau karena tidak ada gadis yang mau menikah dengan mereka.
Mereka kok ngenes, ya.
Mari membatin sambil meringis kaku.
Ya, kecuali Marco dan Thatch yang hidup terpisah dari rumah utama, semua saudara mereka masih tinggal bersama Shirohige.
Marco tinggal bersamanya, sedangkan Thatch tinggal di luar negeri yang sudah pulang ke rumah beberapa waktu lalu.
Cengiran lebar mengembang membayangkan apa saja yang akan dilakukan Mari di sana.
One Piece © Eiichiro Oda
Shirohige Mansion © Mari-chan
"Semalam Marco-jichan menghubungi rumah Ojiisan, Izou mengatakan ada acara penyambutan untuk Ace, dan meminta kita datang ke sana karena semuanya akan berkumpul."
"Ace? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, dia sekolah di luar negeri 'kan? Jadi dia pulang?"
Mari memutar bola mata mendengar celetukan kakaknya tentang Ace. Ia bukannya tidak suka dengan Ace. Malah sebaliknya, Mari sangat menyukainya.
Tapi jika ia mengingat hubungan persaudaraan 3 cawan yang selalu dibahas oleh kakaknya, Ace dan Luffy, Mari jadi kesal sendiri. Luffy sendiri adalah temannya meski mereka tidak pernah sekolah di tempat yang sama.
Sebenarnya ia ingin ikut, tapi alasan super jenius dari mereka adalah "Mari 'kan perempuan, ini khusus laki-laki, Mari cari saja saudara perempuan nantinya."
Ggggrrr, menyebalkan!
Mari 'kan adik Sabo... apa salahnya menggandeng Mari juga untuk ikut dalam hubungan saudara sepercawanan itu, ugh!
Kalau dipikir, kenapa juga mereka sampai bersumpah jadi saudara secawan begitu? Padahal mereka punya keluarga sendiri. Yang ajaib memang hanya Ace, meski pemuda itu punya ayah dan ibu, tapi dia malah lebih senang menganggap Shirohige-jii sebagai ayahnya.
Lalu Shirohige-jii? Sudah jelas sangat senang menerima Ace. Tipikal sang kakek.
Kalau Luffy beda lagi, pemuda itu hanya tinggal dengan kakeknya, karena ayahnya kerja di luar negeri atau di mana entah dia juga tidak paham. Ibunya sendiri tidak pernah diketahui keberadaannya.
Luffy juga ada hubungan keluarga dengan Ace, Ace bahkan memanggil kakek Luffy dengan panggilan kakek, belum lagi Luffy sering tinggal di rumah Ace jika kakeknya ada tugas di kepolisian.
Jadi, Ace bukan hanya menjadi saudara Sabo, tapi juga saudara Marco kah, karena mereka memanggil orang yang sama sebagai ayah? Sabo juga bukan hanya saudara Mari, tetapi saudaranya Ace dan Luffy.
Lha? Sebentar... Sabo dan Marco juga saudara, ada hubungan darah malah. Ace dan Luffy pun begitu. Lalu bagaimana hubungan Mari dengan Ace dan Luffy? Apakah mereka bisa disebut saudara juga? Mari 'kan keponakannya Marco dan adiknya Sabo?
Sementara Marco adalah saudara Ace karena Ace salah satu putra dari Shirohige-jii. Lalu, Ace sendiri adalah saudara Luffy dan Sabo.
....
Aih, Mari jadi pusing sendiri.
Semakin memikirkan hubungan orang-orang ini, dirinya malah semakin tidak mengerti. Sudahlah, biarkan saja. Terserah mereka mau punya hubungan yang bagaimana. Mau mengikutkan Mari atau tidak, Mari tidak peduli.
"Eh, chotto matte."
Apalagi sekarang? Mari menggerutu dalam hati.
"Lalu Marco-san mengiyakan? Katanya mau mengejutkan mereka, kalau bilang 'iya kami akan datang', sama saja bohong," ucap Sabo.
Eh? Benar juga.
"Marco-jichan?"
"Bagaimana kalau aku bilang kita tidak bisa datang karena sibuk."
Mari dan Sabo bertatapan cukup lama sampai akhirnya mereka berdua tertawa jahil, keduanya menyeringai setan dan diikuti pula oleh Marco.
Dasar keluarga setan kalian.
Shirohige Mansion
Perjalanan dari Tokyo menuju Grand Line tempat Shirohige Mansion membutuhkan waktu yang cukup lama. Terhitung sudah lebih dari dua jam, Mari berada di dalam mobil. Dan perjalanan masih memerlukan waktu kira-kira satu jam lagi. Ugh. Jauhnyaaaa.
"Marco-jichaaaan, masih lama kah? Mari bosan," sang gadis mengeluh, ia sudah tahu kalau perjalanan masih membutuhkan waktu sekitar satu jam lagi baru sampai ke tempat kakeknya, tapi tetap saja bertanya.
"Kalau bosan, ya, tidur."
Dari kursi depan, Mari melirik sadis sang kakak yang duduk di kursi belakang, matanya mendelik melihat apa yang dilakukan pemuda itu. Kakaknya sedang asyik berkutat dengan laptop, "Marco-jichaaan... Sabo-nii membawa laptopnyaaa," pekiknya tak terima, tangannya menarik lengan Marco untuk setidaknya melihat bagaimana Sabo.
Sabo sendiri tidak merasa terganggu dengan Mari yang mencoba mengadukannya pada Marco, ia hanya menjulurkan lidah ke arah adiknya dan kembali sibuk dengan laptop hitamnya.
"Hiiii, Sabo-niiii, mooou... Marco-jichaaan, lihat ituuu."
"Mari, ayo jangan berisik, Marco-jichan tidak bisa konsentrasi menyetir."
Mari menggembungkan pipi. Kesal. Ia tahu Marco berbohong. Konsentrasinya tidak akan pecah hanya karena teriakan dari Mari mengingat dirinya sering sekali teriak-teriak tidak jelas jika berada dalam mobil.
"Huh!"
Gadis tujuh belas tahun ini pun akhirnya kembali duduk tenang di kursi depan, melipat kedua tangan di depan dada. Matanya menatap lurus jalanan di depan sambil sesekali menggerutu tak jelas.
Shirohige Mansion
Sambutan yang diterima Marco dan Sabo saat masuk ke dalam Shirohige Mansion bukanlah pelukan dan ucapan selamat datang, melainkan sebuah jotosan maut dari Jozu yang dengan sukses membuat Sabo terpental dan Marco yang hanya meringis.
Mungkin efek Jozu mengurangi kekuatan juga ketika meninju lengan Marco yang saat itu menggendong Mari di punggung. Bayangkan jika Jozu melakukannya dengan kekuatan penuh? Ah, sudahlah, tidak usah dibayangkan.
"Ittai," Sabo mengusap bokongnya yang dengan sangat indah mencium lantai karena perbuatan salah satu ojisan-nya itu.
"Jahatnya!" dan bulu kuduk Sabo berdiri diikuti oleh wajahnya yang memucat tatkala suara seseorang yang begitu ia kenali merasuk ke telinga. Sabo kenal betul suara ini. Ini 'kan suara─
Belum sempat sebuah nama terucap dalam pikiran, Sabo sudah merasakan seseorang memeluk tubuhnya erat, terlalu erat sampai ia merasakan dadanya sesak karena kesulitan bernapas, "A-anoo─"
"Siapa yang semalam mengatakan tidak akan datang ke sini!"
Sabo merasa setengah nyawanya melayang entah ke mana begitu pelukan maut terlepas darinya, ia menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengembalikan fungsi paru-parunya seperti semula.
"Sabo-kun, sejak kapan kau jadi licik seperti Marco," kali ini Sabo meringis ketika tangan lentik Izou menyentil keningnya.
Duh. Dirinya merasa teraniaya.
"Hehe," yang bisa dilakukan pemuda dua puluh tahun ini hanya nyengir kaku ke arah Izou yang masih menatap sok galak. Kepala pirang mahasiswa Universitas Mariejois menoleh, menatap sang Ojisan yang ikut-ikutan nyengir kaku ke arahnya. Ugh.
Seharusnya dia tadi ikut-ikutan tidur di mobil saja seperti Mari. Dan membiarkan Marco menggendongnga juga seperti Mari. Karena demi apa, siksaan fisik yang diberikan keluarga besarnya benar-benar membuatnya terkena encok dan bengek.
"Ugh."
"Sabo!"
Mata hitam Sabo membulat mendengar suara itu, suara yang tak kalah familiar dari suara Izou tadi, senyumnya mengembang di bibir saat matanya menemukan sesosok pemuda sebaya yang balas nyengir lebar dan kali ini berlari ke arahnya.
"Ace!"
Keduanya berpelukan erat sembari tertawa, semua rasa sakit yang tadi dirasakan Sabo seolah lenyap setelah melihat saudaranya ini.
"Bagaimana kabarmu, Sabo."
Sabo tertawa dan menepuk punggung Ace, "kau lihat sendiri bagaimana," perlahan ia melepaskan pelukannya dan mereka kembali tertawa.
"Kau sudah bertemu Luffy?"
"Ya, aku menemuinya sebelum ke sini, dia tidak berubah sama sekali, hahaha."
"Selamat datang, Marco... Sabo."
Shirohige Mansion
"Ojiisan!"
Sabo menatap Ace sejenak, dan setelah pemuda berhelai hitam itu mengangguk, Sabo bergegas berlari ke arah kakeknya dan memeluk pria besar itu dengan sangat erat, "Ojiisan, aku merindukanmu," ucapnya.
Tangan besar Shirohige menepuk kepala pirang cucunya dengan sayang dan tersenyum ramah, "Ojiisan juga... bagaimana perjalanan kalian?" tanyanya lembut, perlahan ia melepaskan pelukan Sabo, mata hitamnya menatap cucunya penuh kehangatan.
"Yaa... menyenangkan," Sabo kembali memeluk kakeknya.
"Maa, sepertinya ada yang kelelahan karena perjalanan panjang?"
Sabo dengan cepat melepaskan diri dari kakeknya dan nyengir lebar. Ia menoleh ke satu sosok dan diikuti oleh hampir seluruh manusia yang berada di ruang tamu rumah besar itu.
Pria pirang dengan postur tinggi dan seorang gadis yang tertidur lelap di punggungnya.
Sabo lah orang pertama yang berlari menuju ke arah ojisan-nya dan mengusap kepala adiknya, "Dia sempat marah-marah tadi, eh tapi tiba-tiba dia ketiduran," katanya diiringi kekehan pelan.
Suara tawa Shirohige menggelegar, dari ujung mata, ia melihat salah satu putranya yang nampak sedikit gugup, terlihat dari matanya yang bergerak tak tentu arah dan tangannya yang mencengkeram kemeja gelapnya. Dan Shirohige sangat mengerti kenapa dia seperti itu. Penyebabnya sudah pasti seseorang yang masih menebar senyum di tengah ruang tamu.
Shirohige bukan orang bodoh, dan meski orang bodoh sekali pun pasti akan tahu bagaimana perasaan salah satu putranya itu kepada Marco. Tapi Marco yang terlalu fokus kepada dua keponakannya entah menyadari atau tidak, dasar tidak peka.
Pria besar dengan kumis antik terkekeh. Dasar anak muda. Dengan langkah kakinya yang besar, dia berjalan ke tempat Marco dan menepuk pundak sang anak, "Marco, lebih baik kau tidurkan Mari di kamarnya," ujarnya yang langsung disambut anggukan dari yang bersangkutan.
"Oh iya, Ace..." Marco menghentikan langkahnya saat mendengar sang ayah memanggil nama itu, sementara yang merasa terpanggil tak menyahut sama sekali, pemuda bersurai hitam hanya menatap sang ayah dengan tatapan kosong, "...kau bisa membantunya membawa koper kecil Mari 'kan?" lanjut Shirohige yang seketika membuat seluruh makhluk hidup di dalam ruang tamu sekuat tenaga menahan tawa mereka.
"Eh?"
"Sabo?"
"Sabo bisa membawa barang-barang milik Sabo sendiri dan tidak perlu dibantu, Ojiisan," Sabo menyeret kopernya ke arah tangga untuk menuju ke kamarnya, sementara Shirohige hanya menyeringai, cucunya ini ternyata pintar juga, didikan Marco memang tidak perlu diragukan.
Shirohige Mansion
"Jadi, bagaimana kabarmu?"
Ace yang baru saja meletakkan koper kecil Mari di samping lemari hampir saja terkena serangan jantung mendadak ketika suara berat Marco terdengar. Dan dirinya hanya bisa mematung dengan mulut terbuka lebar tanpa tahu harus merespon seperti apa.
Selalu seperti ini. Sejak mengenal Marco bertahun-tahun yang lalu, Ace selalu mengalami kesulitan ketika terjadi obrolan dengannya. Entah itu disebabkan karena detak jantungnya yang menggila setiap kali berbicara dengan Marco, atau karena ia merasa aneh saat ratusan kupu-kupu seolah memenuhi perutnya ketika pria itu tersenyum padanya atau karena wajahnya yang terasa benar-benar panas saat Marco mengusap kepalanya dengan lembut? Entahlah, dirinya sama sekali tidak mengerti.
Padahal sebelum ke tempat Oyaji, dirinya sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya jika bertemu Marco. Tentu saja ia ingin ngobrol dengannya seperti saudara yang normal pada umumnya. Tapi, tetap saja kenapa itu terasa sangat sulit dilakukan.
Iya, jika bertemu Marco bersama Sabo dan Mari sih dia yakin masih bisa memasang poker face, lha kalau hanya Marco?
Sial. Seharusnya ia juga memikirkan kemungkinan seperti ini.
Padahal Marco hanya bertanya tentang kabarnya, tapi.... kenapa dirinya gugup begini? Apa karena ia sudah sekian lama tidak bertemu Marco? Sehingga Ace menjadi gugup saat bertemu dengannya?
Tidak...
Ace memang sudah gugup sejak awal dia melihat Marco di ruang tamu, masalahnya, Izo mengatakan bahwa Marco tidak bisa datang karena sibuk.
Tapi kenyataannya? Makhluk nanas itu masuk ke dalam rumah dengan santai bersama Sabo dan Mari di punggungnya. Belum lagi senyumnya yang tidak dia sadari selalu membuat Ace panas dingin.
Heh. Berhenti berpikir macam-macam, kau ini seperti gadis smp yang baru pertama kali jatuh cinta tahu!
Eh?
Bodoh, apa yang kau pikirkan! Ace mengacak rambut gelapnya karena frustrasi akan isi pikirannya sendiri.
"Ace?"
Tepukan pelan di pundak membuat Ace terperanjat dan ia semakin tidak karuan saat mata gelapnya bertemu dengan mata biru milik Marco. Mata itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
He?
"Kau baik-baik saja, Ace?"
Ace mengalihkan pandangannya dari Marco, karena demi apa pun, jantungnya bisa melompat dari dada jika ia terlalu lama menatap mata sewarna langit milik Marco.
Ugh!
Dan lagi... dirinya terlalu larut dalam pikirannya dan hal itu malah membuat Marco khawatir, "Ahahaha," Ace tertawa garing dan perlahan menjauh dari Marco yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya. Padahal tadi dia masih ada di samping tempat tidur Mari.
"Aku baik-baik saja, Marco," jawabnya diakhiri tawa yang terlalu dipaksakan.
"Iya kah? Tapi wajahmu terlihat merah, apa kau sakit?"
"Eh?" Mata abu-abu milik Ace terbelalak saat merasakan tangan hangat Marco mengusap pipinya. Lagi-lagi ia tidak menyadari langkah Marco yang tiba-tiba sudah kembali berada di sampingnya.
Dan apa katanya tadi? Wajahnya merah? Ugh... Ace bahkan yakin wajahnya bisa lebih merah lagi dari ini jika─
"Ace?"
Ugh!
Ace merasakan perutnya bergejolak karena suara berat Marco yang memanggilnya seperti itu. Ditambah lagi pria itu menatapnya dengan tatapan intens, tangan kanan Marco juga masih bertengger di pipinya. Dan kini perlahan menyisipkan helaian hitamnya ke belakang telinga.
Berani bersumpah, dengan tatapan dari manik biru Marco yang seperti itu, dia pasti bisa melihat seluruh hal yang ia sembunyikan. Termasuk perasaannya.
Memikirkan hal itu membuat jantung Ace berdegup semakin kencang dan ia yakin, wajahnya sudah tidak ada bedanya dengan tomat sekarang.
"M-Marco, aku─"
Shirohige Mansion
"Marco-jichan, masih belum sampai─kah─are?"
Mari tidak tahu apa yang tengah terjadi, tapi dirinya berani bersumpah demi tugas-tugas kakaknya yang sering membuatnya gagal paham, sesaat setelah ia menggumam pelan dan masih setengah mengantuk tadi, dirinya sempat melihat seseorang berlari dari kamarnya.
"Marco-jichan?" Mari menggumam lirih, mendudukkan diri di atas kasurnya yang empuk, mengucek mata yang terasa sedikit berat dan menatap sang ojisan. Di depannya, ojisan-nya itu masih berdiri dan menghadap arah pintu, "...ada apa?" gadis ini bertanya-tanya.
Kepala pirang Marco menoleh ke arah Mari, senyumnya mengembang meski terlihat sedikit kaku, "Mari sudah bangun? Baguslah, di bawah banyak yang ingin bertemu denganmu. Lagi pula ini sudah waktunya makan malam."
Mari mengangkat alis, Marco terlihat sedikit aneh, senyumnya juga terasa lain dan tidak seperti senyumnya yang biasa, "Marco-jichan, yang tadi itu siapa?"
Kerutan di kening Mari semakin jelas terlihat terutama saat ia melihat raut wajah sang ojisan yang sedikit mengeras dengan rona merah tipis di pipinya, apakah Marco menyembunyikan sesuatu darinya?
"Kau pasti bermimpi, Mari, tidak ada siapa-siapa di sini kecuali Marco-jichan."
Benarkah?
Mari membatin heran, tapi dirinya tidak lagi menanyakan hal yang ia lihat sekilas tadi karena mungkin saja dia salah lihat. Ia masih setengah sadar, jadi mungkin saja yang tadi hanya bayangan dalam mimpinya.
Karena demi apa pun, Mari yang hanya tidur sekilas tadi malah sempat mendapat mimpi tentang─are, apa yang tadi ia impikan ya? Ah, sudahlah.
Tapi, tetap saja ekspresi lain dari Marco membuatnya tidak tenang. Hmmmmmm... haruskah ia mencari tahu apa yang terjadi?
"Cuci muka dan segera turun ke bawah, oke?"
"Hai!"
Shirohige Mansion
"Minna-saaaaaaan."
Kaki-kaki kecil Mari dengan semangat menuruni tangga super besar yang menghubungkan lantai atas dengan lantai bawah, diikuti Marco yang berjalan santai dengan kedua tangan yang nyaman di dalam saku celana. Senyumnya terlihat luar biasa bahagia melihat wajah-wajah yang begitu ia rindukan berada di sana.
"Mari-chaaaaaan!"
Tawa Mari tak terelakkan saat Haruta memeluknya erat sesaat setelah ia menginjakkan kaki di lantai bawah Shirohige Mansion.
"Aku merindukanmu, Mari-chaaan... lebih merindukanmu daripada duo pirang di sana," Mari tertawa geli mendengar ucapan Haruta dan diikuti teriakan tidak terima dari kakaknya.
"Oi, sekarang giliranku!" Izo menarik kerah baju Haruta dan menjauhkannya dari Mari dengan sangat mudah, membuat gadis bersurai coklat itu menggerutu. Dan segera setelahnya, pria yang hobi berdandan a la wanita itu memeluk keponakannya tak kalah erat.
"Mari-chan, aku bahkan lebih merindukanmu melebihi Haruta merindukanmu," Izo berucap dan kali ini giliran Haruta yang berteriak protes.
Ahahaha, mereka ini ada-ada saja.
Beberapa detik berlalu dan Mari mulai susah bernapas karena dekapan Izo yang benar-benar. Terlalu. erat.
"I-Izo-san... Ma-Mari tidak bisa─"
"─Izo, kau membuat Mari sesak napas, lepaskan!"
Haruta kembali berteriak. Tangan-tangannya mulai mencoba melepaskan tangan Izo yang melingkari tubuh Mari.
"Haruta, hentikan," Izo memekik dan perlahan melepaskan pelukan mautnya, ia tersenyum manis menatap keponakannya, "...gomen, habisnya Izo-san gemas sekali padamu, hahaha."
Sebutir keringat berbentuk biji jagung terpampang di sebelah kanan kepala Mari, gadis ini tertawa kaku dan mundur perlahan dari Izo dan kini berdiri di sebelah Marco, "...ahahahaha, daijobu, Izo-san."
"Satu pelukan dari Mari dan kalian harus membayar 100 ribu beri."
Marco memberikan deathglare sempurna ke arah Sabo yang langsung membuat pemuda pirang itu meringis kaku, "Aku cuma bercanda, Marco-san."
"Tapi aku setuju jika itu untuk Thatch," celetuk Marco yang langsung membuat seluruh anggota keluarga Shirohige tertawa, kecuali Thatch tentu saja.
"Marco, kau kejam sekali."
"Tidak lucu," Mari hanya bisa sweatdrop berat melihat kelakuan kakak dan ojisan-nya.
"Kami merindukanmu, Mari-chaaaaan~"
Satu persatu keluarga besar Shirohige memberikan pelukan hangat untuk Mari, "Mari juga merindukan kalian semua~" gadis tujuh belas tahun ini berujar riang dan membalas pelukan mereka.
Ia bahkan mendapat pelukan dari Ace. Wow, tumben sekali pemuda itu mau beramah tamah padanya, "...arigatou, Ace-san."
"Kau ini benar-benar, ya," alis Mari kembali menukik saat melihat Ace tersenyum lembut ke arahnya dan mengacak rambut hitamnya.
Tumben sekali pemuda raven itu baik padanya. Ada apa sebenarnya?
"Arara," seruan Thatch membuat Mari dan Ace menoleh, dan melihat pria dengan model rambut nyentrik itu membawa nampan berisi makanan yang aromanya benar-benar menggugah selera makannya, "kau pasti lapar setelah perjalanan jadi, Thatch-ojichan sudah menyiapkan makanan enak untukmu, Mari-chaaan~ ah, untuk Ace juga ada."
Mari terkekeh melihat Thatch yang begitu bersemangat, "Arigatou, Thatch-y~" ucapnya ceria dan berlari mengikuti sang chef ke ruang makan.
"Waaaai, kelihatannya enaaaak," Mari menepuk kedua tangannya dan memperhatikan Thatch menata hasil masakannya di atas meja besar di dalam ruangan tersebut, "....Tapi..." mata hitam sang gadis tujuh belas tahun bergerak resah, sejak sampai di Mansion ini, dirinya belum melihat satu orang, yang sangat ingin ia temui sejak beberapa hari yang lalu, "Mari ingin bertemu Shirohige-jii."
Thatch terdiam, gerakan tangannya yang awalnya menghias meja makan pun ikut terhenti "Oh iya, kau 'kan belum bertemu dengannya!" pria berambut coklat meringis lebar, tangannya yang tadi membawa nampan berisi masakan itu menepuk pelan kepala Mari dan berbisik, "Oyaji ada di kamarnya, tapi setelah bertemu dengannya, segera bergabung dengan kami di ruang makan, dan kita makan malam bersama, oke?"
Mari mengangguk dengan semangat setelah mendengar penuturan Thatch, ia mengangkat dua jempolnya untuk chef hebat itu dan segera berlari ke kamar sang kakek, "arigatou, Thatch-y~"
"Mari!"
"Gomen, Sabo-nii, Mari ada urusan sebentar dengan Shirohige-jiii. Oh iya, kalau Mari belum kembali, kalian makanlah duluan, jaaaa."
"Eh???" mulut Sabo terbuka seperti ikan koi melihat adiknya yang berlari begitu saja ke kamar Ojiisan tanpa sedikit pun memperhatikannya, "...huh," ia menggembungkan pipi, mencoba menahan emosi, tapi rasa kesalnya mendadak lenyap saat ia merasa seseorang mengusap kepala pirangnya.
"Marco-san?"
"Kau tahu 'kan seberapa inginnya Mari bertemu Shirohige-jiisan?"
Sabo menghembuskan napas pendek dan mengangguk pelan, "hai."
"Ah..."
Sabo dan juga Marco mengalihkan pandangan dari Mari yang masih berlari menuju kamar Shirohige dan kali ini memperhatikan Thatch.
Pria itu masih melambaikan tangannya dan menatap kepergian Mari dengan pandangan haru, "Kadang aku lupa bahwa dia sudah tujuh belas tahun, dia masih terlihat seperti anak usia tujuh tahun, hahaha... sekarang aku mengerti kenapa Marco begitu protektif."
"Aku mendengarmu, yoi."
Shirohige Mansion
Tok tok tok
Tak perlu menunggu lama, Mari hanya sekali mengetuk pintu kamar kakeknya yang berukuran super besar, dan pintu itu langsung terbuka, seorang wanita cantik dengan pakaian rapih menyambut Mari dari dalam kamar.
"Konbanwa," Mari dengan sopan membungkukkan badan kecilnya.
"Ara, Mari-sama."
Mari menegakkan kembali badannya dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat mendengar panggilan itu, dia paling tidak suka dipanggil seperti itu, panggilan itu tidak mencerminkan dirinya sama sekali, "Oneechan, panggil saja Mari," katanya sambil tersenyum.
Wanita cantik yang Mari kenal sebagai salah satu perawat dari kakeknya itu balas tersenyum ke arahnya, "Hai, Mari-chan," ucapnya ramah, "Shirohige-sama sedang beristirahat, masih mau menemuinya?" tanyanya, tangan halusnya mengusap lembut kepala Mari.
"Sebentar saja, apa tidak boleh?" Mari mengeluarkan jurus andalannya, tatapan memelas a la anak kucing.
Sang perawat tersenyum, "...tentu saja boleh, tapi sebentar saja, oke?"
"Hai, Oneechan~"
Dengan pelan, Mari melangkahkan kaki masuk ke kamar sang kakek dan tidak butuh waktu lama untuk mencari kakeknya, Mari sudah melihat pria besar itu berbaring santai di atas tempat tidur dengan sebuah buku di tangan. Sepertinya kakeknya itu baru selesai check up.
"Shirohige-jii?" panggil Mari.
"Cucuku, kemarilah," tanpa basa-basi, Mari berlari ke tempat kakeknya dan memeluknya dengan erat, ia juga merasakan usapan lembut di punggung.
"Shirohige-jii mau istirahat kah? Apa Mari mengganggu?"
Shirohige tertawa dan mengangkat tubuh kecil Mari, mendudukkannya di sebelah tempatnya setengah berbaring, "Mari tidak akan pernah mengganggu Shirohige-jii," ujarnya ramah seperti biasa.
"Arigatou, Shirohige-jiii," tangan kecil Mari kembali melingkari tubuh besar sang kakek, "Mari senang sekali bertemu denganmu, ne ne... apakah Shirohige-jii tahu, kemarin Mari memimpikanmu, lho."
"Eh? Iya kah? Seperti apa mimpinya, mau menceritakannya pada Ojiisan?"
"Hai!"
Perawat pribadi Shirohige tersenyum hangat melihat bagaimana duo kakek dan cucu itu bertukar cerita dan memutuskan untuk meninggalkan kamar, ia sudah memberikan obat untuk kepala keluarga baik hati itu, jadi tidak masalah, Mari bukan anak nakal yang akan menyelinapkan sake ke kamarnya, tidak seperti ojisan-tachi nya yang hobi sekali membuatnya kesal karena terlalu sering memberikan sake kepada Shirohige. Padahal kesehatan Shirohige sudah tidak seperti saat beliau muda dulu.
Shirohige Mansion
"Hei, Ace."
Ace, yang merasa terpanggil menolehkan kepalanya dengan sebuah daging yang masih berada di dalam mulut, tanpa sempat mengunyah makanannya, ia menjawab sapaan saudaranya dengan santai, "Sabh, adh aphg?"
Sebuah jotosan diterima pemuda dengan bintik-bintik di wajah itu yang dengan sukses membantunya menelan daging panggang, "sakit tahu!" Ia membentak sang pelaku dengan galak sambil mengusap pipinya yang memerah.
"Makanya, kunyah dulu makananmu sebelum bicara padaku, baka!"
Ace menggembungkan pipi mendengar penuturan Sabo, si pirang ini kadang benar-benar menyebalkan.
"Hei, jadi bagaimana hubunganmu dengan Marco-san?"
Jedeeeerrr
Bisikan Sabo pada telinga kanannya membuat tubuh Ace mematung sempurna. Wajahnya seketika memanas. Seringai yang diperlihatkan oleh Sabo malah semakin membuat wajahnya terbakar, "A-apa maksudmu?" elaknya. Ia kembali mengambil makanan di atas meja, berusaha mengalihkan perhatian dari saudaranya itu.
"Halah, aku tahu semuanya, tidak perlu menyembunyikannya."
Ace hampir tersedak makanan yang sedang ia kunyah karena ucapan Sabo ditambah tepukan di punggung yang diberikan oleh keponakan Marco itu.
Tunggu. Apa maksudnya Sabo tahu?
"Kau?" Ace menatap horor Sabo yang masih menyeringai. Sial, aku punya firasat buruk.
"Hahahaha, wajahmu merah, lho, Ace─" buru-buru Ace menyumpal mulut Sabo dengan ayam panggang karena suara tawa dari saudara sepercawanannya tadi membuat hampir semua orang di ruang makan memperhatikan mereka, termasuk Marco. SIAL!
Sabo menelan ayam di mulutnya dan mendelik tajam ke arah Ace, "Dasar kau ini," ia meneguk minumannya sebelum memberikan cengiran innocent ke orang-orang, nasib baik mereka segera melanjutkan acara makannya tanpa memperdulikan mereka.
"Ne, pasti terjadi sesuatu antara kau dan Marco-san saat berada di kamar Mari 'kan, hayo ngaku," lagi-lagi Sabo berucap jahil. Belum kapok juga dia rupanya.
Kali ini giliran Ace yang mendelik tajam, meski terlihat tidak mengintimidasi Sabo sama sekali karena wajah pemuda itu yang merah luar biasa.
"Aku anggap itu sebagai iya."
"Hei!"
Protes yang berniat diutarakan Ace terhenti saat sebuah tangan melingkari pundaknya, "Tenang saja, aku tidak keberatan, kok, soalnya aku tahu, bagaimana perasaanmu untuk Marco-san."
Ace benar-benar berharap lantai ruang makan ini terbuka dan menelannya hidup-hidup saat ini juga. Karena, apalagi yang bisa membuatnya lebih malu dari pada mendengar ucapan keponakan Marco dan juga saudaranya yang mengatakan bahwa dia menyetujui hubungannya dengan Marco. Bolehkah ia menyumpal mulut Sabo dengan tulang ayam sekarang juga?
"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Marco," katanya─mencoba untuk terlihat─cuek, meski dalam hati, jantung sudah mengajaknya maraton.
Ace buru-buru mengangkat tangannya di depan wajah Sabo sebelum pemuda pirang itu sempat protes, "Diam dan lanjutkan makannya."
"Oi─"
"Minnaaaaa."
Ace tidak pernah merasa sesenang ini mendengar suara Mari, terutama saat kedatangan gadis itu berhasil membuat Sabo berhenti menginterogasinya tentang Marco.
Mari, aku berhutang budi padamu.
Shirohige Mansion
"Ne, Mari-chaaan, rambutmu panjang sekali, aku jadi gemas ingin melakukan sesuatu pada rambutmu, boleh tidak?"
Mari bersenandung kecil merespon ucapan Izo, ia tidak perlu mengatakan sesuatu, karena mengatakan apa pun pada Izo jika pria itu sudah punya ide adalah hal yang tidak ada gunanya.
"Kecuali potong, Izo. Aku tidak akan memafkanmu jika kau memotong rambut Mari."
Izo menatap saudaranya yang duduk tenang di kursi taman dengan tatapan mencibir, "Benar kata Thatch, kau terlalu protektif," katanya.
"Maa, tapi kau tenang saja, Marco, aku tidak akan melakukan hal buruk pada Mari, kau lihat saja nanti hasilnya seperti apa," Izo mengedipkan sebelah matanya ke arah Marco yang hanya memutar bola mata.
Haruta tertawa pelan melihat kedua saudaranya dan mulai ikut serta melakukan hal yang telah Izo rencanakan untuk menata rambut panjang milik Mari.
Sementara Mari sendiri masih asyik bergelut dengan manga-nya. Dirinya duduk manis di depan Izo yang mulai mengutak-atik rambutnya. Mereka berdua─bertiga bersama Haruta─duduk lesehan di atas hijaunya rumput taman tak jauh dari meja dan kursi tempat Marco duduk santai.
Ini hari kedua ia berada di Shirohige Mansion (mereka berangkat dari rumah jumat sore) dan setelah mereka menghabiskan malam yang agak SEDIKIT kacau di ruang makan, kali ini di sabtu pagi yang cerah, Mari menghabiskan waktunya dengan Izo, Haruta dan Marco di halaman belakang Shirohige Mansion yang luasnya lima kali lebih luas daripada halaman rumahnya.
Halaman ini memiliki banyak bunga-bunga yang tumbuh di sekitarnya, pasti Izo yang merawatnya sehingga tamannya jadi seindah ini. Ada juga kursi dan meja antik yang terdapat di sini.
Tak jauh dari taman tempat mereka bersantai juga terdapat kolam renang berukuran besar yang sering digunakan anggota keluarga ajaib ini untuk bersantai, terutama jika musim panas tiba. Tapi Mari tidak pernah sekali pun berenang di sana. Tak perlu disebutkan alasannya. Yang jelas Mari menolak dengan senang hati jika ditawari untuk berenang. Tidak. Terima kasih.
Beberapa ojisan-nya masih ada yang bekerja di hari sabtu, ada yang mengatakan punya urusan lain juga, termasuk Jozu dan Vista, sehingga setelah sarapan bersama, di rumah besar ini hanya tersisa beberapa orang.
"Yo! Aku membawa camilan~"
Haruta melompat dari duduknya dan berlari ke arah Thatch yang datang ke taman belakang dengan membawa beberapa piring. Apa pun yang dibawa Thatch, pasti itu sesuatu yang enak.
"Izo, kau mau?" Haruta mencomot sebuah kue buatan Thatch dan menawarkannya ke Izo yang mengangkat tangannya dan menggeleng, "...ya, sudah."
Wajah manis Haruta berbinar cerah setelah ia menelan habis kuenya, "Oishiiii," pekiknya.
Haruta tidak habis pikir, meski pun Thatch adalah saudaranya yang masuk jajaran idiot, tapi jika sudah berurusan dengan dapur, pria berambut coklat itu menjelma menjadi seorang jenius. Apa pun yang dibuatnya selalu berakhir dengan luar biasa.
"Hahaha, terima kasih, Haruta-chan," Thatch nyengir lebar dan membawa sepiring muffin ke arah Marco, "makanlah..." ucapnya pelan, ia meletakkan kue buatannya di atas meja dan mulai menyamankan diri di kursi yang berada di samping Marco yang masih asyik menjelajah bukunya.
"Thatch-y, Mari juga mau..."
Izo menjentikkan jari-jari cantiknya ke depan wajah Mari yang mengisyaratkan bahwa dia tidak boleh beranjak sedikit pun dari tempatnya, tidak sebelum kerjaan Izo selesai.
Dari tempatnya duduk, Thatch melihat keponakan perempuannya menggembungkan pipi, dan itu terlihat sangat lucu, "Hahaha, tenang saja, Mari-chan... Thatch-y membuat banyak, masih ada di dalam, Sabo dan Ace akan menyusul ke sini dan membawanya, jadi kau bisa memakannya setelah Izo selesai."
"Hontou, yaay! Ari─mph" teriakan Mari terputus ketika Haruta dengan semangat memasukkan sebuah muffin ke mulutnya.
"Kunyah, kunyah," gadis bersurai pendek mulai memberi instruksi dan secara ajaib Mari mengikutinya, "...dan telan," lanjutnya polos.
Mari membuka dan menutup mulutnya berkali-kali sebelum menatap tajam gadis di depannya, "Hhhh, Haruta-neechan, Mari hampir mati karena tersedak, tahu!"
Haruta tertawa kencang dan memegang perutnya melihat reaksi Mari yang dia rasa terlalu berlebihan, "Mari, kau lucu sekali," katanya di sela tawa.
Tapi, tawanya seketika langsung berhenti dan wajah manisnya berubah pucat saat sosok di belakang Mari memberikan deathglare yang paling horor yang pernah dia lihat seumur hidup, "gomen, Izo."
Dan sekuat tenaga Mari mencegah dirinya tertawa melihat ekspresi precious dari Haruta. Ia menutup wajahnya dengan manga kesayangan untuk mencegah tawanya.
Beberapa menit berlalu, Mari yang masih juga betah dengan manga-nya tiba-tiba merasakan usapan di kepala sehingga membuatnya menoleh, Izo memakaikan sesuatu di atas kepalanya yang ia tebak adalah mahkota bunga buatan Haruta.
Ia mengusap mahkota bunga di kepalanya dan tersenyum. Mata hitamnya bertemu pandang dengan manik sewarna dengannya yang menatapnya intens, "Izo-san? Sudah selesai kah?" tanyanya.
Anggukan kepala Izo menjadi jawabannya, "Iya, sudah selesai..." pekikan pria berusia tigapuluh tahun membuat Mari meringis, tangannya terulur untuk meraih cermin yang dibawa oleh pria itu, tapi Izo menghentikannya dengan memaksanya berdiri dan menyeretnya entah ke mana.
"Marco! Coba kau lihat!"
Are?
Shirohige Mansion
Ia tahu kalau keterampilan Izo itu tidak bisa diragukan, tapi... ia tidak menyangka saudaranya itu akan merubah keponakannya menjadi... seperti sekarang ini.
Dirinya seratus persen yakin, Izo tidak memakaikan make up ke wajah Mari, hanya menata rambutnya tapi... kenapa Mari jadi terlihat beda dari biasanya?
Rambut Mari yang biasanya digerai itu kini terlihat lebih fresh setelah Izo mengepangnya menjadi dua dengan diselipi bunga-bunga yang dikumpulkan Haruta. Dan entah bagaimana caranya, dua kepang itu dia ikat menjadi satu.
Sang Crossdresser juga menghiasi rambut Mari dengan beberapa jepit rambut miliknya. Dan beberapa bunga lain yang telah Haruta buat sebagai mahkota bunga bertengger manis di atas kepalanya.
Satu kata untuk menggambarkan keponakannya ini. Cantik.
"Dou? Kawai deshou?"
Marco terbatuk ringan mendengar pertanyaan Izo, ia menatap tajam pria berkimono yang balas menyeringai ke arahnya. Pasti Izo tahu semua yang tadi dia pikirkan.
"Marco-jichan?"
Mata biru Marco teralih dari Izo dan kini menatap sang keponakan, meletakkan bukunya di atas meja dan berdiri dari kursinya. Ia berjalan ke arah Mari dan sedikit membungkukkan badannya sehingga kepalanya sejajar dengan kepala sang gadis. Tangannya secara refleks meraih kepala Mari dan mengusap pipinya dengan lembut.
"Mari-chan kawai, yoi," ucapnya tak lupa senyuman khas darinya.
Mari terkekeh pelan dan dengan cepat melingkarkan tangannya ke leher Marco, memeluk ojisan-nya erat, "arigatou, Marco-jichaan," ujarnya ceria.
"Ne, ne, menurut Thatch-y, Mari juga manis kok, apa Mari tidak mau memberikan pelukan untuk Thatch-y?"
Izo dengan cepat mencubit perut Thatch yang langsung meringis kesakitan dan diiringi tawa dari Haruta, "Izo, aku hanya bercanda!"
Cubitan kuku cantik milik Izo itu sakit. Sangat.
Mari melepaskan diri dari Marco dan tertawa melihat Thatch yang misuh-misuh tak jelas, sementara Izo masih menatapnya galak.
"Ada-ada saja mereka," Marco menggumam lirih.
"Yo! Kami membawa makanan~"
Shirohige Mansion
Sabo hampir saja menjatuhkan piring yang berisi kue buatan Thatch saat melihat adiknya. Langkahnya juga terhenti di tempat. Matanya tak berkedip sama sekali dan tetap fokus pada sosok Mari. Sebelas duabelas dengan reaksi Marco saat pertama melihat Mari. Dasar, dua makhluk pirang freak.
Apa benar gadis yang berdiri di samping Marco dan sedang menatapnya itu adalah Mari? Apa Sabo tidak salah lihat?
"Sabo-nii~ siniii..."
Suara itu. Sabo membatin.
Sudah jelas itu suara Mari, lagipula siapa lagi orang di dunia ini yang memanggilnya begitu selain adiknya?
Dilihat dari segi mana pun, dia memang Mari. Pakaian yang dikenakan masih sama, tapi... entah kenapa hari ini dia terlihat lain... apa karena tatanan rambutnya? Berani bertaruh, pasti Izo yang melakukan sesuatu pada rambut Mari.
"Mari? Kau terlihat.... hebat."
Sabo mendelik mendengar pekikan dari Ace yang kali ini sudah berjalan ke tempat adiknya dan juga mengusap kepalanya.
"Arigatou, Ace-san."
Dan Mari balas tersenyum manis kepada Ace. Hah? Yang benar saja. Dan berani sekali Ace mencuri start darinya, Sabo memang mengatakan dia tidak keberatan dengan hubungan Ace dengan Marco, tapi jangan harap bisa sok akrab dengan adiknya selama dirinya masih ada.
"Wah," Ace mengusap dagunya dan menyeringai, "kira-kira reaksi Law bagaimana, ya, kalau melihat Mari seperti ini."
Nani!
Sabo menggerutu dalam hati, terutama saat melihat wajah Mari yang memerah, pasti karena mendengar nama Law disebut oleh Ace tadi. Dan itu entah bagaimana membuat Sabo tidak suka.
"Chotto!" teriaknya, ia berjalan cepat, meletakkan piringnya di atas meja taman dan menarik tangan Mari untuk menjauhkannya dari Ace.
"Sabo?"
Sabo belum bersuara, Ia masih merangkul pundak Mari, matanya menatap tajam mata abu-abu milik Ace, "Memangnya kau pikir aku akan membiarkan si Dokter menyebalkan itu dekat-dekat dengan Mari, heh!" ucapnya galak, "Sampai kapan pun aku tidak akan merestui hubungan mereka!"
"..."
"Sabo-nii?"
Hening menyambut ucapan Sabo. Semua pasang mata menatap pemuda pirang dengan pandangan heran.
1 detik
10 detik
"Ahahahaha," gelak tawa tak terelakkan. Sabo pun tak bisa mencegah wajahnya untuk memerah begitu dirinya menyadari apa yang diucapkan.
"Sabo-kun, kawai neee."
Rangkulan tangan Sabo yang melingkari pundak Mari terlepas dengan mudah saat seseorang menarik tangannya dan ia langsung menyesal menyadari bahwa—Untuk kedua kalinya sejak ia datang ke tempat ini, dirinya sudah merasakan pelukan maut Izo. Dua kali. DUA KALI!
"Ugh," Sabo meronta dan mencoba melepaskan diri dari pelukan maut Izo, tapi ternyata sia-sia. Meski dirinya lebih muda tapi tenaganya tak sebanding dengan pria cantik itu, "I-Izo-san, aku tidak bisa bernapas, ohok!"
"Arara.... ternyata Sister complex-nya belum hilang meski sudah dewasa," Thatch mengguman dan lanjut tertawa. Di sampingnya Marco hanya tersenyum dan Mari yang mengerucutkan bibir melihat kakaknya.
"Urusai na, Thatch-san. Ittai! Izo-san, lepaskan!"
"Sabo-kun, coba sini kupotret wajahmu yang blushing itu," Haruta menimpali, sebuah smartphone sudah siap mengambil moment-moment memalukan dari keponakan pirangnya yang usianya hanya berbeda 3 tahun dengannya itu.
"... siapa yang blushing!" Sabo mengelak meski bukti nyata bahwa wajahnya memerah masih tertera di jelas di depan Haruta, "Haruta-san, jangan coba-coba!"
"Horaa, biar aku saja yang memotretnya," Ace merebut ponsel hitam milik Haruta dan menyeringai setan menatap Sabo yang masih meronta di pelukan Izo.
"Ace!" pekiknya. "Aku. serius. tidak akan memaafkanmu!"
"Kalian seperti anak kecil saja," Mari menghela napas dan memutuskan untuk duduk sejenak. Dirinya mendadak lelah melihat kelakuan keluarganya yang kadang terlalu absurd.
"Are? Cokelaaaat," ia berteriak dengan semangat dan tersenyum lebar melihat kue cokelat tertata rapih di atas meja taman, "waaah, kelihatannya enak~" gadis ini dengan santai memakan kue cokelat buatan Thatch tanpa peduli sedikit pun akan nasib kakaknya yang tengah di-bully habis-habisan oleh Izo, Haruta dan Ace.
"Oishiiii~"
Dan tanpa sepengetahuan Mari, seseorang dengan cekatan mengabadikan dirinya yang asyik makan cokelat sambil menyeringai.
"Yatta!" orang itu tersenyum penuh kemenangan melihat hasil jepretannya. Ia bisa memanfaatkan hasil buruannya ini untuk merampok temannya. Ini menarik.
"Mau kau apakan foto Mari, Ace?" bulu kuduk Ace─seseorang yang mengambil diam-diam foto Mari─langsung berdiri begitu suara berat seseorang memasuki gendang telinganya.
Ace menolehkan kepalanya dengan gerakan patah-patah dan wajahnya memucat seketika melihat ekspresi Marco, "Ahahahahaha, hey, Marco..."
Marco melipat kedua tangan di depan dada, manik birunya masih menatap tajam Ace, "Jangan bilang kau akan mengirimnya ke Law."
"....."
"Hapus sekarang juga atau kau tidak akan bisa melihat Luffy lagi nantinya, Ace."
Ace menelan ludahnya gugup, kali ini gugup yang lain dari yang biasanya ia alami ketika bersama dengan Marco. Pasalnya, pria pirang itu menatap dirinya dengan tatapan membunuh yang membuatnya merinding setengah mati.
"Hehe," pemuda raven menggaruk kepalanya dan nyengir kaku, "tenang saja, Marco, aku tidak akan macam-macam, kok," katanya. Ngeles.
"Hooo, begitu."
Ace masih meringis.
"Hapus fotonya. Sekarang."
Glek!
Thatch yang melihat bagaimana Marco juga tak bisa menahan cengirannya, dasar, dua makhluk pirang yang overprotektif. Sementara yang mereka lindungi habis-habisan malah sedang makan dengan riangnya dan tidak menyadari apa yang terjadi.
"Hhhhhh, gadis yang sangat tidak peka," guman sang chef seraya menepuk jidatnya.
Di dalam mansion, seorang pria besar dengan kumis putih yang khas menatap keadaan taman dengan pandangan hangat, mulutnya melengkungkan sebuah senyuman lembut memperhatikan tingkah anak-anak dan cucunya, "Gurarara... mereka semua manis sekali."
The End
OAO
Gak tahu kenapa bisa nulis kayak begini /dor
Ulalalala, gak sadar sih sebenarnya dan pas sadar, ini fict udah lebih dari 4k #jedeerr
Seru sih nulis tentang merekaaaa... dan maaf, Marco-Ace-nya nyempil dikit meski gak jelas banget /kan sudah bilang, saya agak odong kalo nulis romance T.T
Dan sasuga Shirohige Kaizoku-dan, mereka gak cuma absurd di bentuk tubuh dan wajah, tapi juga absurd di sifat, uhuhu... #plak
Pojok curhat dari Mari, sebentar kok #yha
Sebenarnya Mari ini eerrr, SIBUK BANGET HUASTOGEEEHHH T.T
Bulan Mei sampai nanti Juni, Mari gak akan punya waktu buat leyeh-leyeh T.T
Ini aja ngetik disaat saya sedang belajar buat E Training, gak paham sih, makanya nyari hiburan dengan ngetik /tolongjanganditiru dan ajaib, ini fict langsung jadi dan di-post #krik kalo ada typo entar Mari edit lagi deh /KAREPMU
Jadi, ceritanya begini sodara-sodara *backsound suara seruling Krishna* (?????)
Tadi sore ada yang datang ke rumah, guru dari sekolah lain dan minta tolong materi E Training, Mari jawabnya cuma gini "Saya belum paham, bund... serius." Sambil nyengir.
Dan sudah bilang, nanti malam kupelajari lagi deh, bund... tapi nyatanya????? Semalam ada haflah akhirussanah MDA, dan adikku tampil, otomatis saya lebih mentingin adik dong, mana itu bagaimana pentasnya adik adalah hasil didikan saya (pede) adik juga pasti butuh dukungan dari mbaknya, kakak macam apa diri ini yang gak menghadiri acara penting adiknya???? #plak
Dan alhamdulillah semalam adiknya Mari tampil dengan baik :") seneng dan terharu lihatnyaaaaa #heh
Ehm! Pulangnya, saya memutuskan untuk buka E Training (lagi) meski udah dibuka pun saya masih gak konsen melajarinyaaaa T.T dan akhirnya daripada mubazir Chappy udah dinyalain, ngetik deh dan jadi satu fict absurd ini... HAHAHAHAHAHA
Satu kesimpulan yang Mari dapat dari semua ini, mood nulis Mari akan melonjak naik saat sibuk, ya udah, sibuk aja terus biar nulisnya semangat #jangan
Sekian pojok curhat dari Mari, gak penting ya, iya banget -.-"
Sudah... ini sudah berakhir... ceritanya maksudnyaaa... kalo keseharian Mari dan orang-orang di sekitarnya belum berakhir kok... entah ada keseruan apa lagi, yaaaa.. kita lihat saja nantinya, HAHAHAHA /woi
MBAH SAYA |
Omake
.
.
.
Law menatap ponselnya yang berkedip dan bergetar di atas meja kamar, menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Ia bergegas mengambilnya dan berharap pesan itu dari seseorang.
Tangan bertato D.E.A.T.H mengusap layar ponsel dan melihat nama Ace tertera jelas di sana, perasaan sedikit kecewa menyeruak karena pengirim pesan tak sesuai harapannya.
Law menghela napas, "Tumben sekali dia mengirim pesan," gumamnya.
Dan Law sejenak lupa bagaimana caranya bernapas saat membuka pesan dari Ace. Pesan pertama yang muncul adalah sebuah foto dari seorang gadis. Gadis yang sebenarnya ia harapkan mengiriminya pesan malam ini. Gadis itu terlihat asyik memakan kue yang ia tebak pastilah kue cokelat terlihat dari ekspresi wajahnya yang luar biasa ceria.
Tapi bukan itu yang membuat tenggorokan Law terasa kering seketika, melainkan penampilannya yang terlihat lain, selama ini gadis bernama Mari itu tidak pernah benar-benar merawat rambutnya, menatanya pun jarang, setiap kali mereka jalan bersama, Mari hanya akan menggerai rambut panjangnya atau dikuncir dengan jepit-jepit, tapi di foto itu... rambut panjangnya ditata sedemikian rupa entah oleh siapa. Ditambah latar belakang taman yang nampak asri membuat hasil jepretan Ace semakin sempurna dan harus Law akui, itu membuat Mari terlihat lebih..... cantik.
Bukan berarti dalam kesehariannya Mari tidak cantik, lebih ke manis, tepatnya. Tapi bagi Law, cantik atau tidak itu tidak penting, dirinya menyukai Mari apa adanya gadis itu.
Eh?
Law menutupi wajahnya yang entah sejak kapan sudah terasa panas dengan sebelah tangan. Sial. Hanya memikirkan Mari saja sudah membuatnya seperti ini.
Mencoba untuk tidak terlalu terfokus kepada foto Mari yang dikirim oleh Ace, Law mulai membuka pesan kedua yang masuk ke ponselnya.
Mata gelap sang dokter bedah memicing melihat deretan kalimat kiriman dari Ace.
'Hei, aku tahu kau pasti blushing melihat Mari, hahaha... ingat, kau berhutang makan siang padaku, kau tidak akan percaya, aku hampir mati demi mempertahankan foto itu, kau benar-benar harus berterima kasih padaku, Law... jaga fotonya baik-baik dan jangan sampai duo pirang itu melihatnya, atau kita berdua akan menjadi santapan ikan di laut karena masalah ini.'
"Baka," Law menghela napas. Dan tangannya kembali membuka pesan Ace yang pertama. Seringai nampak menghiasi wajahnya, tidak masalah Mari tidak menghubunginya atau mengirim pesan untuknya, karena ia sudah mendapatkan sesuatu yang menarik tentangnya hari ini.
Terima kasih untukmu, Ace.
The End (for real) (?)
No comments:
Post a Comment