Mari membuka dan menutup mulutnya mendengar ucapan tamunya yang kini masih berdiri di depan rumahnya. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi urung, terutama saat otaknya selesai mencerna kalimat yang baru saja dikatakan oleh salah satu dari mereka.
Wanita bersurai hitam panjang dan terlihat sangat anggun ini tadi mengatakan 'Fushichou Marco' kan? Iya, telinga Mari masih normal, tidak mungkin ia salah dengar. Apalagi salah dalam mendengar nama asli dari ojisan-nya.
Nama depan Marco memang lebih dikenal dengan Edward sekarang, tapi tetap saja Fushichou adalah nama lahirnya. Mari tahu itu dari Marco sendiri. Meski nama Fushicho terdengar sedikit eerr─aneh─tapi Marco tetap bangga pada namanya.
Dan tentu saja Mari juga.
"Benarkah di sini rumah Marco?"
Eh?
Dengan cepat, Mari menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan dari sosok yang sama, wanita cantik yang juga menanyakan keberadaan ojisan-nya. Uh, ia terlalu sibuk dalam isi pikirannya sampai melupakan tamu-tamunya, "H-hai, mari silahkan masuk," ajaknya dengan lembut.
"Arigatou."
One Piece © Eiichiro Oda
Visitors © Mari-chan
Ia mengambil gelas dari dalam lemari dan membuat teh hangat. Karena tadi Mari lupa menanyakan mereka mau minum apa, jadilah ia berinisiatif. Lagi pula, semua orang suka teh, kok. Pikirnya sok tahu.
Setelah memastikan teh buatannya pas pada rasa manisnya, Mari membuka kulkas untuk mencari kue. Semalam Thatch-ojisan membawa kue ke rumah dan ia yakin kue coklatnya masih ada.
Senyumnya melebar melihat apa yang ia cari masih terpampang manis di dalam kulkas, ia mengeluarkan roti coklat buatan Thatch itu dan mulai memotong-motongnya menjadi beberapa bagian dan menaruhnya di atas piring. Setelah semuanya selesai, ia meletakkan teh dan kuenya di atas nampan dan membawanya ke ruang tamu.
"Maaf menunggu lama," katanya seraya menata minuman dan camilan di atas meja. Wanita berhelai hitam yang menjadi tamu Mari itu juga ikut membantunya, "A-arigatou."
"Maaf, ya, kami merepotkanmu, Mari-chan."
"Tidak apa-apa─eh?" kristal sehitam malam milik Mari membulat mendengar wanita itu memanggil namanya. Hah? Dari mana dia tahu nama Mari?
Rasa penasaran menguasai gadis manis ini, ingin sekali ia bertanya dari mana wanita itu tahu tentang dia. Tapi belum ia sempat bertanya, wanita itu terlebih dahulu menguarkan sebuah senyuman yang Mari artikan sebagai 'Aku tahu semua hal tentangmu.' dan percaya atau tidak itu membuat bulu kuduk Mari meremang. Meski cantik dan anggun, wanita di depan Mari ini terasa sedikit menyeramkan. Aura-aura yang sejenis dengan Marco menguar dari tubuhnya.
"Aw! Supeeeer!"
Glek!
Kepala Mari kini teralih dari sang wanita dan memperhatikan sosok yang sukses mengagetkannya barusan, pria dengan badan kekar yang duduk di sebelah wanita itu memiliki rambut biru ngejreng plus bentuknya yang nyentrik dan penampilan yang eeeeerrr─unik─sangat unik, belum lagi teriakan supernya itu, membuatnya terlihat semakin norak di mata Mari.
Setelah beberapa menit terdiam memperhatikan pria yang juga menjadi tamunya, akhirnya Mari kembali mengalihkan pandangan, tidak kuat juga lama-lama ia menatap pria ajaib itu, "Anooo," ia berucap pelan dan sedikit ragu, "kalian ini... siapa?" tanyanya.
Wanita cantik di depannya tersenyum manis, "Namaku Robin, dan ini suamiku, Franky."
Mulut Mari membentuk huruf 'o' dan perlahan mengangguk. Jadi, namanya Robin... dan ternyata mereka suami istri? Batinnya.
"Lalu, Robin-san dan Franky-san, ada perlu kah dengan Marco-jichan?" lagi-lagi gadis ini bertanya, kali ini sedikit lebih percaya diri dari pada sebelumnya.
"Mufufufu, begitulah... ada yang ingin kami bicarakan dengan Marco."
Mari kembali mengangguk dan bertanya lebih lanjut, "Robin-san kenapa bisa mengenal Mari? Apakah Robin-san teman Marco-jichan?"
Wanita bernama Robin mengangguk pelan, senyumnya yang menawan belum luntur dari wajahnya yang rupawan, "Kami teman sejak SMA... dan sejak mulai mengasuhmu, Marco sering menceritakan tentangmu padaku," jawabnya dengan nada lembut.
"Oh... begitu," Mari mengguman lirih dan refleks mengambil kue coklatnya. Hih anak ini, itu kue untuk tamu malah dia yang makan.
"Oh iya, aku juga mantan kekasih Marco, lho."
UOHOK!!!!
Mari sukses tersedak kue coklat buatan Thatch dan mendelik kaget, manik hitamnya menatap Robin tanpa berkedip, "U-uso.... Darou?" gumamnya penuh keraguan.
(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~)
Apakah teman Sabo?
Tidak mungkin. Marco mengenal teman dekat Sabo dan dia tidak memiliki mobil jenis ini. Lagi pula Sabo mengatakan ia ada urusan dengan temannya dan akan pulang malam.
Kalau teman Mari?
Marco menghela napas. Kaoru-kun lebih senang berlari jika ingin main ke rumah, lalu Momoshiro-kun lebih suka naik sepeda.
Dan Law?
Marco menggelengkan kepalanya. Mobil pribadi milik Law juga tidak seperti ini.
Rasa penasaran menghinggapi benaknya, buru-buru pria pirang ini memasukkan mobilnya ke garasi dan segera memasuki rumah.
"Tadaima... Mari?" ucap Marco pelan, tapi belum terdengar sahutan dari sang keponakan. Tidak mungkin ia memanggil Sabo karena Sabo baru saja menghubunginya dan mengatakan ada tugas penting dan ia akan pulang agak malam.
"Mari─" ucapan Marco terhenti ketika telinganya menangkap suara tawa yang khas, dan juga teriakan dari gadis kecilnya, dan yang membuat Marco mengangkat sebelah alisnya adalah teriakan 'super' setelahnya.
Jangan-jangan?
Kaki-kaki panjang Marco bergerak cepat menuju ke asal suara, yaitu ruang tamu. Ia sudah bisa menebak siapa yang berkunjung ke rumahnya. Iya, pasti mereka berdua.
(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~)
"Mari? ....Robin dan Franky? Sedang apa kalian di sini?"
Mari dan dua tamunya yang tengah terlibat obrolan seru yang kebanyakan tentang masa lalu Marco, sejenak menghentikan acara mereka ketika menyadari orang yang mereka bicarakan sudah berdiri tenang di depan pintu masuk ruang tamu.
"Eh, Marco-jichan.... okaeri~" gadis tujuh belas tahun ini melompat dari duduknya dan memeluk Marco dengan erat, dan baru setelah ia merasakan usapan dan ciuman lembut di kepalanya, Mari melepaskan diri dan tersenyum ke arah Marco, "Gomen, Marco-jichan, Mari tidak sadar kalau Marco-jichan pulang," katanya.
Marco hanya tersenyum hangat mendengar permintaan maaf dari Mari, "Tenang saja," ujarnya dan kali ini ia sepenuhnya memperhatikan dua tamunya, "Robin dan Franky, suatu kejutan kalian ke sini, ada hal penting kah?"
Robin dan Franky yang entah sejak kapan sudah berdiri dari duduknya mengangguk kompak dan hal itu membuat Marco tak lagi membuang waktu dan segera bergabung dengan teman-temannya.
"Jadi, ada apa?"
"Sssst, Marco-jichan, mau Mari buatkan teh juga?" bisik Mari, namun Marco menggeleng dan mengisyaratkan keponakan perempuannya itu untuk duduk di sampingnya.
Melihat respon ojisan-nya, akhirnya Mari kembali duduk tenang di sebelah Marco dan mencomot kue coklat yang tadi ia sajikan untuk tamu-tamunya. Seperti isi pikirannya di awal Robin dan Franky datang, camilan yang Mari siapkan pasti akan berakhir dengan dirinya sendiri yang memakannya.
"Kami datang untuk memberikan undangan pernikahan kami, Marco. Kau harus datang."
"Uhuk!"
Untuk kedua kalinya Mari tersedak kue buatan Thatch, gadis ini mulai mempertanyakan, ojisan-nya itu ikhlas atau tidak, sih, memberi kue coklat untuknya?
"Mari kau baik-baik saja?! Ayo minum dulu."
Tanpa pikir panjang, Mari menyambar teh yang diberikan oleh Marco dan meneguknya. Rasa hangat dan manis yang menjalari tenggorokannya membuat rasa panas akibat tersedak tadi lumayan terobati.
"Kau ini kenapa, yoi?"
Gadis kelas dua SMA ini menatap ojisan-nya yang dipenuhi rasa khawatir sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah tamunya, "Marco-jichan! Robin-san tadi memperkenalkan Franky-san sebagai suaminya, lalu kenapa mereka mau menikah lagi?!" pekiknya.
Eh?
(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~)
"Mufufufu, Mari-chan manis sekali, aku jadi tidak tahan untuk menjahilimu."
Kalau kepala Mari tidak sakit jika dijedukkan ke meja, gadis ini pasti sudah melakukannya sekarang juga. Pasalnya, Robin-san yang cantik itu ternyata dari tadi menipunya. Mou...
Tolong, ya, siapa pun orangnya, wajah Mari memang manis dan dia gampang percaya pada orang lain, tapi bukan berarti itu bisa dijadikan alasan untuk menipunya. Lha?
"Supeeerrr─"
"Diam!" bentak Mari sebal, ia menggembungkan pipinya dan menatap tajam Franky yang berpose aneh dan baru saja ia cegah untuk melanjutkan teriakan 'super' itu. Ugh, tidak tahukah orang ini kalau Mari sedang kesal?
"Hei, jangan seperti itu, yoi," Mari masih mengerucutkan bibir bahkan ketika Marco menepuk kepalanya, "...ayo minta maaf pada Robin-san dan Franky-san," ajaknya lembut.
Butuh waktu sekitar tiga menit bagi Mari untuk akhirnya meminta maaf pada tamunya yang unik-unik itu, dan tentu saja hasil bujukan ojisan-nya.... Gadis ini berdiri dari duduknya dan membungkukkan badannya sopan kepada mereka, "Maafkan Mari, Robin-san, Franky-san."
Tawa khas Robin kembali terdengar, wanita itu tersenyum dan mengusap pelan pucuk kepala Mari, "Kami juga minta maaf sudah membohongimu, mufufufu."
Dan entah kenapa Mari merasa bahwa Robin benar-benar tidak ikhlas meminta maaf dan malah menikmati acara menipu Mari tadi. Hhhhh...
"Mari-chan juga harus datang ke acara pernikahan kami, ya... kami tunggu."
Mari mengangguk semangat dengan cengiran lebar menghiasi wajahnya, "Mari pasti datang, Robin-saaan," ia memekik dengan mata berbinar. Acara pernikahan, kaaaah... pasti ada banyak makanan di sana... coklat...es krim~
Hei, sebenarnya tujuan utamamu ke acara pernikahan itu apa, Nak?
(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~)
"Ne, Marco-jichan?"
"Hmmm."
"Apa benar, Robin-san itu mantan kekasih Marco-jichan?"
"...." Marco yang biasanya selalu tenang dalam situasi apa pun, hampir saja menyemburkan makanannya ketika ia mendengar pertanyaan keponakan perempuannya. Ditambah lagi kekehan Sabo yang terdengar menyebalkan di telinganya. Alhasil, pria usia akhir tiga puluhan ini hanya terbatuk untuk menyembunyikan keterjutannya.
Kekehan Sabo yang duduk di sebelah kirinya terdengar semakin kencang. Ugh, tenang, Marco... tenang...
Robin dan Franky sudah pulang sejak tadi siang setelah memberikan undangan, mereka mengatakan masih banyak yang harus diurus dan akhirnya pamit.
Dan kini, Marco yang seharusnya menjalani makan malam bersama dua keponakannya yang manis-manis ini dengan tenang, malah mendapat pertanyaan paling ajaib dari gadis kecilnya, entah dari mana pertanyaan Mari itu berasal.
"Marco-jichan???"
Marco menelan makanan di mulut dan meneguk air minumnya sebelum sepenuhnya memperhatikan Mari yang memasang wajah penasaran. Hhhh, entah apa yang sudah dikatakan oleh Robin pada keponakannya yang polos ini. Mantan kekasih? Hhhhh, Robin... tolong jangan jadikan kejeniusanmu untuk menipu keponakanku. Batin Marco.
"Mari," katanya seraya memegang pundak kecil gadis tujuh belas tahun yang duduk di samping kanannya, memaksa gadis bersurai hitam panjang yang juga keponakan perempuannya itu untuk menatapnya, "Mari tadi sempat kena 'tipu' Robin-san 'kan?" tanyanya yang disambut anggukan lemah dari Mari, "...Lalu, apa Mari masih mau percaya kalau Robin-san dan Marco-jichan dulu sempat memiliki hubungan, oke, oke... hubungan kami hanya sebatas teman... mungkin bisa dikatakan sebagai sahabat juga. Aduh, intinya hubungan kami dulu tidak seperti yang dikatakan oleh Robin-san," Marco mengacak helaian pirangnya.
"Dan lagi, apa Mari akan percaya jika Robin-san mengatakan masa lalunya tanpa alih-alih begitu, sementara calon suaminya ada di sebelahnya?" kali ini Mari menggelengkan kepalanya, membuat Marco menghela napas.
Tapi meski begitu, pria pirang ini tak menghentikan kalimat yang ingin ia katakan pada Mari selanjutnya, menjelaskan sesuatu pada gadis ini harus sampai selesai jika ingin dia paham, "Bukankah lebih baik jika Robin-san tidak mengungkit masa lalunya... terutama... jika di sampingnya ada calon masa depannya," Marco hampir tak percaya dirinya baru saja mengatakan kata-kata yang super cheesy itu kepada ponakannya yang bahkan tidak tahu tentang cinta-cintaan. Lihat saja ekspresi nge-blank yang kini terpasang di wajah Mari.
".........Oh.... jadi, ucapan Robin-san tadi juga bohong?"
Marco menghembuskan napas lega saat menyadari bahwa keponakannya akhirnya mengerti tentang apa yang coba ia katakan padanya, ya, intinya begitu lah, "Bagus kalau kau mengerti, nah, ayo lanjutkan makanmu, yoi."
Acara makan keluarga kecil ini akhirnya kembali berlangsung dengan tenang, tapi ketenangan yang terjadi hanya berlangsung sebentar karena lagi-lagi suara cempreng Mari menginterupsi, "Ne... Marco-jichan, Robin-san dan Franky-san 'kan akan menikah... lalu, kapan giliran Marco-jichan menikah?"
Watdehelll!!!
Hening menyelimuti ruang makan keluarga Marco. Ia bahkan meragukan kesehatan pendengarannya apakah benar ia baru saja mendengar pertanyaan dari Mari itu? Dan yang lebih penting, apakah yang bertanya begitu padanya itu benar-benar Mari-nya?
Ya ampun.
Ia jadi ingat kejadian seminggu lalu ketika Law datang melamar Mari, apakah Law sudah mengatakan niatnya pada Mari? Tapi tebakan Marco, sih, belum mengingat bagaimana keseharian Mari yang biasa saja dan tak ada perubahan berarti setelah hari itu
Lalu... kenapa Mari malah menanyakan hal itu padanya???
"Pppppffft─"
Marco menatap tajam Sabo yang kini tengah berusaha menahan tawanya. Hhhh, kenapa ia malah jadi bulan-bulanan keponakannya begini?
"Mari... dengarkan Marco-jichan... menikah itu... bagaimana menjelaskannya, ya?" ia melirik kanan dan kiri, berusaha mencari kata yang tepat untuk dikatakan pada Mari, "Hhhh, begini... meski Robin dan Franky yang merupakan teman Marco-jichan akan menikah, itu tidak bisa dijadikan acuan bagi Marco-jichan untuk menikah juga."
"...."
"Menikah itu butuh persiapan, karena yang diharapkan, orang menikah itu sekali seumur hidup, jadi menikah tidak bisa dipaksakan, apalagi hanya dengan alasan 'teman-teman sudah menikah sementara kita belum' begitu, apa kau mengerti?"
Marco tidak yakin apakah penjelasannya barusan bisa dimengerti oleh Mari atau tidak, tapi semoga saja dia paham, Mari 'kan sudah tujuh belas tahun. Paling tidak, gadis ini paham faktor apa saja yang mempengaruhi sebuah pernikahan.
"Begitu, ya, hahaha... Mari tidak paham, sih, tapi apa saja asal Marco-jichan bahagia, Mari akan mendukung, kok, hehe."
Oh, Kami-sama... keponakan perempuannya ini lama-lama membuatnya emosi, ia sudah menjelaskannya dengan sangat hati-hati agar dia paham, tapi reaksinya malah seperti itu.
Sampai kapan pun, Mari memang akan selalu menjadi gadis kecilnya yang polos dan tidak nyambungan meski usianya sudah tujuh belas tahun.
Marco jadi khawatir, bagaimana nasib pernikahan Law dan Mari nantinya jika Mari tetap bersikap seperti ini. Law, yang sabar, ya.
The End
Hueeeeeeeee.....
Mari kangen nulis tentang keluarga Mari~ ih, Robin-san jahil sekali menipu Mari dua kali begitu wkwkwkwk
Dan Marco udah pinter mengucapkan hal-hal yang membuat Mari puyeng, yak lol
Eniwei... keseruan apa, ya, yang akan terjadi di acara pernikahan Robin dan Franky??? Tulis gak, ya, tulis gak, ya, tulis gak, ya???? HAHAHAHA /woi
Lihat aja entar kalo Mari gak sibuk #gayamu
Oh iyaaaaa... kemarin Mari dapat gambar baru... OC kesayangan Fujisaki Mari yang digambar sama Della... serius, dia cantik /eh
Ini diaaaaaa~ uhuk!
KAWAAAAAI >///< |
Makasih sudah mengunjungi blog Mari~ sampai jumpa di postingan selanjutnya... /ngilang
No comments:
Post a Comment