(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~) Hello, Mari-chan is here ★★★ A cheerful, sweet, innocent and light idiot girl who loves Trafalgar Law more than anyone ♡♡♡ Trafalgar Law's Wife ♡ Fushichou Marco's Niece ★★ Sabo & Echizen Ryoga's Sister★ ★ Whitebeard Pirates & Heart Pirates ★★ Kaidou Kaoru and Momoshiro Takeshi's Bestfriend ★★ One Piece ── One Piece Live Attraction ★ Prince of Tennis ★ Hunter X Hunter ★ Death Note ★ MarcoAce is Life. MarcoAce is Love ♥ Sweet Combi ♥ Rival Pair ♥ Seigaku ★ Extremely biased towards Ishiwatari Mashu and Kimura Tatsunari ♥ Yoroshiku ♥ and welcome to my (weird) blog (ノ゚▽゚)ノ

Thursday, 20 December 2018

My Ojisan, Marco!

Mari tidak tahu berapa lama ia duduk dengan mulut menganga sembari memandangi sang Ojisan yang baru keluar dari kamar. Manik hitamnya tak berpaling sedikitpun dari sosok pria pirang yang kini berjalan pelan menuju ke arahnya, atau lebih tepat menuju ruang keluarga tempat dirinya bersantai.

Pria itu sudah menanggalkan pakaian kantornya yang tadi sempat Mari lihat ketika Marco pulang—kemeja putih dilengkapi jas hitam serta celana kain hitam dan tak lupa sepatu pantofel—dan kini mengenakan pakaian santai berupa kaos lengan pendek berwarna biru cerah serta celana panjang.

"Kenapa Mari melihat Marco-jichan seperti itu, yoi?" Suara Marco terdengar mengalun dengan diikuti kekehan pelan. Mari hanya berkedip beberapa kali dan meringis kaku. Mengabaikan laptopnya yang masih menyala memperlihatkan layar game zuma yang ia mainkan sudah berakhir karena kehabisan nyawa. Oh ternyata ia ketahuan memperhatikan Marco.


"Ada apa?" tanya Marco, kali ini pria pirang itu sudah duduk di sofa panjang yang berseberangan dari Mari.

Cengiran belum luntur dari wajah gadis enam belas tahun, ia melepas kacamata yang sejak tadi dipakai untuk main game dan menggeleng, "Tidak kok, hanya saja Mari baru menyadari kalau Marco-jichan ternyata keren sekali, yoi!" jawab Mari dengan semangat, menirukan aksen khas sang ojisan. Rasanya aneh mengatakan 'yoi' di ending kalimatnya, tapi ketika Marco mengatakannya itu terdengar sangat keren karena itu Mari menirukan—

"Ppppffft—"

Tuing! 

Telinga sebelah kanan gadis kelas dua SMA berkedut, senyum manisnya luntur seketika. Manik hitam Mari menatap tajam Marco yang kini menutup mulut menahan tawa. Pipi pucat pria itu sedikit memerah, membuat Mari membelalak. Rasa jengkelnya yang muncul beberapa detik lalu sektika lenyap. Eeeeeh, Marco-jichan blushing!!!! Batinnya berteriak.

"Kau ini ada-ada saja," Marco berucap pelan, menyamankan diri di sofa seraya membuka buku yang tadi dibawa dari kamar.

Mari meringis kaku, ia terkikik sebelum berdiri dan berjalan pelan menuju tempat Marco, sepenuhnya meninggalkan laptop hitam dengan keadaan masih menyala.

Pria itu menatapnya dengan alis terangkat, dan dalam sepersekian detik Mari melihat manik birunya membulat ketika Mari memutuskan untuk duduk di sebelahnya dan membebankan seluruh tubuhnya yang ringan pada sang ojisan.

"Mari?" dua tangan kecil Mari merangkul lengan kekar Marco, dan ia menyenderkan kepala ke pundak tegap pria itu. Aroma sabun menyeruak memenuhi indera penciumannya tanda bahwa Marco baru selesai mandi, "Ada apa ini, kenapa Mari jadi manja begini?" ucap Marco diselingi tawanya yang selalu terdengar menenangkan.

Tapi Mari tak peduli. Ia perlahan menutup mata, rasanya nyaman berada dekat dengan Marco. Mari yang seharian ini merasa sangat lelah karena urusan sekolah, belum lagi mengurusi perdebatan tidak penting antara Kaoru dan Momo yang sialnya berada dalam kelas yang sama. Lalu tak lupa nilai matematikanya yang selalu di bawah rata-rata. Kegiatan klub yang melelahkan dan tidak ketinggalan sikap Law yang menyebalkan.

Setiap hari selalu seperti ini membuatnya lelah. Dan ia butuh sandaran, terutama sandaran pada Ojisan-nya.

Entahlah, berada dekat dengan pria satu ini selalu memberikan rasa nyaman dan itulah yang dibutuhkan Mari untuk melupakan rutinitas seharian penuh. Mumpung Marco pulang cepat dari kantor, biasanya Marco selalu pulang larut malam ketika Mari sudah tidur. Ah, sudahlah... yang penting ia bersama Marco dan kini Mari jadi mengantuk.

"Marco-jichan," panggilnya lirih. Marco tak menjawab, hanya usapan lembut di kepala yang Mari rasakan. Bukti bahwa Marco mendengarnya, Mari tersenyum tipis dan mengeratkan pelukan pada lengan sang ayah, "Mari sayang sekali padamu," tutupnya sebelum terlelap dalam dunia mimpi.

One Piece © Eiichiro Oda
My Ojisan, Marco © Mari-chan

Sabo hampir tidak mengerti apa yang salah dengan tugas kuliahnya sehingga sang profesor memberinya nilai "C" demi apa pun nilai C!!!!! Seumur hidup—maksudnya selama ia kuliah, dan bahkan ketika masih sekolah, nilainya rata-rata adalah A! Lalu apa masalahnya dengan profesor itu sampai memberi nilai C padanya. Menyebalkan!

Sabo memasuki rumahnya dengan lunglai, tas di punggung terasa semakin berat seiring langkah kakinya yang menapaki lantai. Tugas kuliah yang dikerjakan selama tiga hari penuh kini berada di tangan kanan—dengan kondisi mengenaskan, lusuh di beberapa sudut, serta tak lupa huruf "C" di pojok atas dokumen yang lumayan tebal itu—sementara tangan kirinya membawa sebuah minuman kaleng yang nampak penyok. Dia terlalu emosi sampai kaleng yang tak berdosa itu menjadi korban keganasannya. Nasib baik tugasnya tidak ia sobek-sobek karena kesal.

"Tadaima," salamnya terdengar lesu, ia bahkan tidak yakin Mari akan mendengarnya. Ya mungkin Mari tidak mendengarnya karena ucapannya sangat lirih. Bodoh, ia tidak peduli.

"Fujisaki, tumben kau dapat nilai c, hahaha sepertinya si Jenius tidak se-jenius yang dibicarakan ya, haha." 

Sabo menggeram, ucapan teman-temannya masih jelas terdengar di telinga dan itu benar-benar mengganggu. Apa salahnya mendapat nilai c? Cih, kalian juga sering mendapatkannya. Sabo ingin membantahnya tapi ucapannya tidak bisa keluar dari tenggorokan. Dan ia tidak suka.

Ia harus menenangkan diri, masuk ke kamar, mandi dan langsung tidur! Makan? Heh, Nafsu makannya bahkan sudah lenyap ketika dirinya melihat huruf C nangkring di atas tugasnya. "Hhh," hembusan napas berat keluar dari mulut Sabo, menandakan betapa berat hari yang ia jalani.

"Sabo-kun?"

Langkah Sabo terhenti ketika ia baru saja melewati ruang keluarga dan berniat naik ke tangga menuju kamar, kepalanya menoleh ke arah suara dan ia berkedip. Berkedip. Dan berkedip.

Hah? Sabo membelalakkan mata.

Di depannya, atau di salah satu sofa ruang keluarga, ada Marco yang tengah duduk santai dengan sebuah buku di tangan, yang ia maksud santai jelas dari pakaian pria itu yang terlihat sangat santai, hanya kaos pendek dengan celana panjang biasa. Tak lupa kacamata baca yang membantunya lebih fokus membaca.

Dan yang membuat Sabo mendelik adalah adanya seorang gadis yang tengah tidur menyenderkan kepala ke bahu sebelah kanan Marco. Demi apa gadis itu tidur

"Duduk sini, yoi," Marco menepuk sofa di sebelahnya, menyuruh Sabo untuk duduk. Sabo berkedip cepat dan tanpa berpikir dua kali ia pun mengangguk, dengan langkah pelan ia mendekat ke arah Marco dan Mari. Tapi bukannya duduk di sebelah Marco sesuai ajakan sang ojisan, pemuda sembilan belas tahun justru duduk di sofa lainnya.

Dari posisinya ia melihat laptop milik Mari masih dalam keadaan terbuka, alisnya terangkat menatap lampu merah di pojok kiri laptop yang berkedip mendakan bahwa laptop di depannya belum sepenuhnya mati.

Mari pasti lupa dengan laptopnya dan malah—Sabo menghela napas. Anak itu meninggalkan laptopnya dan dengan santainya tidur berbantalkan bahu Marco-san! Hhhhhhh.

"Ada apa, yoi? Sabo-kun ada masalah?" Sabo menggeleng, tangannya dengan cekatan menekan tombol power dan ketika laptop Mari sudah menyala memperlihatkan akhir game zuma—jika mood Sabo sedang bagus, ia pasti sudah tertawa sekencang-kencangnya melihat kemampuan Mari yang payah dalam game zuma—barulah dia mematikan benda elektronik yang diberi nama Chappy itu dengan benar.

Sebentar, sofa yang dia duduki ternyata sangat nyaman ya, Sabo jadi mengantuk. Ah ia memang harus bersantai.

Tanpa memperdulikan sekeliling, termasuk tas punggung yang berat serta berkas-berkas tugas—yang sudah ia tanggalkan di depan ruang keluarga, Mahasiswa Jurusan Geologi Universitas Mariejois ini pun perlahan menutup mata.

"Sabo-kun?"

Panggilan itu menyentakkan Sabo yang hampir sepenuhnya melupakan keberadaan Marco. Heh, padahal tadi Marco yang memanggilnya. Ugh. Pemuda bersurai pirang mengangkat kepala dan menatap sang ojisan yang kini balik menatapnya dengan khawatir.

Sabo melirik kanan dan kiri sebelum menghela napas, "aku hanya lelah, Marco-san," jawabnya, sedikit menyembunyikan alasan kelelahannya. Ia tidak mau Marco tambah khawatir.

"Ada masalah dengan kuliah?"

Tepat sasaran. Sabo hampir mendecih. Kenapa ia bisa lupa kalau Ojisan-nya ini orang yang paling mengerti tentang dirinya melebihi dirinya sendiri, Sabo mengalihkan pandangan dan mengusap helaian berwarna mentereng miliknya.

"Bukan masalah yang berat," elaknya, mencoba mengakhiri percakapan karena demi apa pun dia lelah dan butuh tidur, tapi ada sesuatu membuatnya membuka mata lebih lebar. Sesuatu yang membuatnya penasaran sejak melihat Marco di ruang keluarga, "Marco-san kenapa sudah pulang? Ini baru jam lima sore," tanyanya penuh rasa penasaran. Karena biasanya Marco selalu pulang larut malam ketika dirinya atau Mari sudah tidur.

"Tadi Marco-san memang sengaja pulang cepat, yoi. Ingin mengajak kalian berdua jalan-jalan," Sabo membuka mulutnya selebar lima centi. Rasa kantuknya hilang mendengar kata jalan-jalan. Yes, dia juga butuh ituuuuuu. 

"Tapi sepertinya baik Mari atau Sabo-kun lelah sekali, bagaimana sebaiknya, yoi?"

Mulut Sabo terbuka dan tertutup seperti ikan koi, tak ada suara yang ia keluarkan dan itu membuatnya seperti orang kehabisan napas, "Sabo-kun? Kau tidak apa-apa?" Marco terdengar khawatir.

... 

Marco tertawa melihat tugas kuliah Sabo tentang bebatuan—salah satu mata kuliah di jurusan yang Sabo ambil. Di situ tertulis huruf C yang sangat jelas. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Sabo mau juga membuka mulut dan menceritakan kenapa mood-nya buruk sekali ketika pulang kuliah.

Dan ternyata, masalahnya adalah untuk pertama kali Sabo mendapat nilai C dan teman-temannya mengejek dia tentu saja. Karena itu Sabo seperti ini. Wah, untung Mari masih tidur, kalau Mari bangun bisa-bisa Sabo diamuk karena baru dapat C sekali saja langsung emosi. Coba bandingkan dengan nilai matematika dan fisika milik Mari. Ah sudahlah. Marco terkekeh.

Dua keponakannya ini benar-benar bertolak belakang. Sabo sangat pintar, bahkan dia tergolong jenius... Mungkin efek dari kecil dia selalu membaca buku-buku koleksi Marco yang isinya lumayan berat. Dan berakhir menjadi sosok yang perfeksionis. Seperti dirinya.

Sedangkan Mari? Marco melirik gadis yang masih saja tertidur berbantalkan bahunya, tidur Mari sangat nyenyak sampai Marco tidak tega membangunkannya. Mari bahkan tidak terbangun mendengar obrolannya dengan Sabo. Sepertinya Mari pun kelelahan.

Mari, kah? Senyum Marco mengembang tipis. Mari tidak terlalu pintar dalam berhitung. Dia lemah dalam matematika, fisika, kimia. Tapi jika diminta mempelajari bahasa baru, Mari termasuk anak yang pintar dan cepat menyerap ilmu. Selain itu Mari juga terlalu lemot di beberapa hal meski itu menggemaskan tapi kadang menjengkelkan juga sih.

"Kenapa Marco-san malah tertawa, sih!" Marco tersentak, ia terlalu larut dalam pikiran dan lupa bahwa Sabo duduk di sebelahnya. Ia terkekeh melihat Sabo yang kini manyun. Tapi melihat ekspresi keponakan laki-lakinya yang semakin merengut membuat ia menyudahi tawa.

Ia terbatuk kecil dan mengacak rambut sewarna dengannya, mengundang gerutuan pelan si pirang yang lebih muda.

"Tidak ada salahnya dapat nilai C," ujar Marco, membuat Sabo mendongak dan memberi tatapan tidak percaya. Okay, way to go, Marco. Kau membesarkan anak lelaki yang tidak mengenal celah. Semua salahmu. Ucapan Izou tiba-tiba terngiang.

Sialan, di saat seperti ia malah mengingat saudaranya yang menyebalkan itu.

Marco tersenyum, mengusir bayangan Izou yang berkacak pinggang di depannya, Izou tolong menyingkir sebentar dari kepalaku!

"Di dunia ini tidak ada yang sempurna, Sabo-kun harus tahu bahwa menjadi sempurna itu kadang melelahkan," lanjutnya. Karena itulah yang kualami seumur hidupku, batin Marco melanjutkan ucapannya sendiri. Sabo belum merespon. Malah kini Sabo memberi tatapan seolah Marco memiliki dua kepala.

"Sekali-kali bersikaplah biasa dan bicarakan apa yang ada dalam pikiranmu. Mendapat nilai C tidak membuat Sabo bodoh. Justru itu bagus untuk membuat Sabo semangat dan belajar lagi," Sabo menunduk tapi perlahan mengangguk, membuat senyum Marco mengembang.

Tangannya yang semula ada di kepala keponakan laki-lakinya kini merangkul pundak pemuda yang sangat dibanggakannya itu, "Jangan anggap nilai C sebagai sebuah kegagalan. Marco-san tidak pernah menuntut Sabo untuk selalu menjadi yang terbaik di semua bidang. Jadi Sabo tidak perlu merasa terbebani dengan nilai ini. Melihat Sabo selalu bersemangat setiap berangkat kuliah itu sudah membuat Marco-san bangga. Dan untuk teman-temanmu, hmmmm," Marco membisikkan sesuatu ke telinga Sabo, "Mengerti?"

Hening menyelimuti, Sabo terlihat menghela napas sebelum suaranya kembali terdengar di telinga Marco, "...aku mengerti itu Marco-san, tapi aku seorang kakak, jika aku tidak bisa menjadi contoh bagi Mari, aku—aduh!"

Marco memotong ucapan Sabo dengan menyentil telinga sang pemuda, "Mari tidak akan peduli dengan nilai kuliahmu, Sabo-kun," sergah Marco, "Tidak hanya Mari, tetapi juga Shirohige Family. Apa pun yang terjadi, kami semua bangga padamu. Dan Mari tetap akan menghormati dan menyayangi Sabo melebihi apa pun karena hanya Sabo yang dia miliki—"

"Tidak," manik biru Marco membelalak karena Sabo balik memotong ucapannya karena selama ini Sabo tak pernah memotong ucapan orang lain, terutama dirinya. "Itu tidak benar, Marco-san," Marco mengangkat sebelah alis, menunggu kelanjutan ucapan Sabo.

Sabo mencengkeram erat kaos biru Marco dan perlahan menyenderkan kepala ke bahunya—seperti halnya Mari, "Sabo-kun?"

"Karena Mari tidak hanya memiliki aku sebagai kakaknya, tapi dia—dan juga aku, memiliki Marco-san. Dan kami sayang sekali padamu," setelah mengatakan hal itu Sabo ikut memeluk lengan sebelah kiri Marco dan menyamankan posisinya sehingga kini dua bahu Marco menjadi bantal bagi dua keponakannya. Ah, Marco tersenyum mendengar ucapan Sabo. Ucapan yang sama yang diucapkan Mari beberapa menit yang lalu.

Mau berapa pun usia Sabo—dan Mari—tetap saja mereka berdua adalah anak-anak. Anak-anaknya. Iya, sampai kapan pun mereka akan selalu menjadi anak Marco. Dan Marco senang mereka berdua selalu terbuka jika ada masalah sehingga Marco bisa selalu menjadi sandaran jika keduanya merasa lelah dengan hari-hari yang mereka lalui. Seperti hari ini.

Tak ada yang lebih membanggakan bagi orang tua ketika melihat anak-anaknya tumbuh dewasa. Pun dengan Marco, menyaksikan pertumbuhan Sabo dan Mari menuju kedewasaan tidak pernah gagal membuatnya dipenuhi rasa bangga. Dan dirinya yakin ke depannya masih akan ada banyak hal yang akan membuat Marco semakin bangga pada keduanya.

"Kalian berdua manja sekali, yoi," Marco terkekeh, kedua tangannya dipeluk oleh Mari dan Sabo jadi ia tak bisa mengusap kepala mereka. Karena itu ia hanya bisa mengecup kepala dua keponakannya, "jalan-jalannya ditunda saja dulu, karena menghabiskan waktu bersama seperti ini di rumah sepertinya lebih menyenangkan, ne, Mari-chan, Sabo-kun?" gumam Marco, ia meraih tangan Mari dan Sabo dan menggenggamnya erat, "Arigatou, yoi."

Marco menyandarkan kepala ke kepala Sabo karena Sabo laki-laki dan lebih kuat dibanding Mari. Dan mulai ikut menutup mata birunya. Sepertinya ia harus lebih sering pulang awal dan menghabiskan waktu dengan Sabo dan Mari. Iya itu ide yang bagus

The End 

UUUUUUUUUUHH 😍😍😍 nulis lagi~
Ini pure family~ rasanya tidak ada puasnya menulis Marco.... he's so full of love... he needs lots of hugs!!!!!! Aaaaaaaa Marco-jichaaaaaan >/////<

Nulis interaksi Marco bersama dua keponakannya benar-benar menyenangkan... dan bikin ketagihan wkwkwkwk

Dan plis, padahal hampir di setiap tulisan Mari ada scene di mana Marco dipeluk oleh keluarganya, TAPI RASANYA TETEP KURANG 😭😭😭😭😭😭😭😭😭 MUNGKIN EFEK DI MANGA YANG DIA DIBUAT BENER² NGENES DAN MASO 😭😭😭 Ojisan guuuueeeeee *peluk makin kenceng*
MARCO-JIIIII

My Ojichan, Fushichou Marco
Asli lah ini orang kerennya ga kira-kira AAAAAAAAAAAAA MARCO-JIIIIII >///////< Lihat pict ini beratus kali juga komennya tetap sama "MARCO-JICHAN KAKKOI!!!" wkwkwkwk

Hmmmmm, apa ya yang dibisikkan Marco pada Sabo? Ah itu rahasia mereka, biar Sabo ga terlalu perfeksionis, jadi perfeksionis itu melelahkan. Benar kata Marco wkwkwk Sabo masih muda jadi lebih bagus kalau dia bersikap layaknya anak muda, bukan orang yang penuh rasa tanggung jawab. Jangan kaya Marco yang dari kecil udah dituntut sempurna HAHAHAHAH

Tenang saja, Bang... kamu punya seluruh perhatian dan rasa sayang dari seluruh Shirohige Family, jadi jangan khawatir, mereka akan selalu bangga padamu meski dirimu mendapat nilai D sekali pun wkwkwkwk /gagini

Tapi si Sabo emang perfeksionis sih ya, jadi kayaknya sih susah. Apalagi sedari kecil dia sama Marco yang ga kalah perfeksionisnya, wajar kalo sifat mereka mirip meski Sabo sedikit lebih ga sabaran ketimbang Marco yang sabarnya seluas samudera /HALAHLEBAY

Udah ini kebanyakan ngomong -

Bubaaaaaaaaaaaaaay~

No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger

Translate

Awesome Inc. theme. Powered by Blogger.