Hari ini adalah hari yang spesial. Karena ini hari pertama Mari masuk sekolah. Meski hanya di bangku Kelompok Bermain, tapi gadis ini terlihat sangat bersemangat.
Selama ini Mari selalu ingin ikut Sabo ketika Sabo berpamitan untuk pergi ke sekolah. Makanya Marco berinisiatif memasukkannya ke Kelompok Bermain. Itu sekolah yang cocok untuk usianya yang belum genap empat tahun.
"Marco-jichan, apakah sekolah Mari sudah dekat?"
Marco tersenyum dan menggenggam tangan malaikat kecilnya erat, "sebentar lagi sampai, yoi~ Mari sudah tidak sabar kah?"
Mari mengangguk semangat dan mengayunkan tangannya yang masih bertautan dengan tangan sang Ojisan. Marco memarkirkan mobilnya di tempat yang lumayan jauh dari gedung sekolah, ia sengaja melakukannya untuk membuat Mari penasaran.
Tiga menit berlalu, gedung Kelompok Bermain yang dituju oleh dua orang ini sudah terlihat di depan mata. Gedung berwarna hijau lembut itu tidak terlalu besar, namun terlihat sangat nyaman dengan banyaknya pohon di sekelilingnya dan juga bunga-bunga yang tumbuh di sekitar sekolah. Lingkungannya juga nampak bersih.
Untuk ukuran pemuda dua puluhan tahun dan belum berpengalaman dengan hal-hal yang berkaitan dengan pengasuhan anak, Marco ternyata lumayan pintar dalam memilih sekolah yang bagus.
Dua wanita cantik menghampiri mereka dengan senyuman lembut, dan Marco sedikit berjengit saat tangan kecil Mari menggenggam tangannya lebih erat, sepertinya Mari sedikit takut.
"Selamat datang... ini pasti Mari-chan 'kan? Teman-teman sudah menunggu di dalam, ayo masuk."
Mari refleks melepaskan genggaman tangannya dari Marco dan kali ini memeluk sebelah kaki ojisan-nya, ia menyembunyikan tubuh kecilnya di belakang Marco. Mencoba untuk tidak terlihat oleh dua wanita cantik itu.
Marco sendiri tak kuasa menahan tawanya melihat Mari. Dasar... dari rumah sudah sangat bersemangat tapi setelah sampai melempem juga.
Dengan pelan, Marco melepaskan diri dari keponakannya dan berjongkok di depannya, ia mengusap kepala Mari dan tersenyum tipis, "Ayo, Mari bilang mau sekolah kan?"
Tapi Mari tak menjawab, gadis itu melirik takut dua wanita cantik yang akan menjadi gurunya sebelum kembali menatap Marco, "Tapi.. tapi..."
"Are? Tidak mau?"
Mari menggelengkan kepalanya, "Bukan begitu... itu─"
Marco tersenyum penuh arti dan mengangkat tubuh kecil keponakannya, kedua tangan Mari secara alami melingkari lehernya, ia membawa Mari masuk ke dalam lingkungan sekolah. Dua wanita yang menyambut mereka mengikuti di belakang.
"Marco-jichan?"
"Di dalam ada banyak anak-anak seusia Mari..." Marco berucap lembut dan masih berjalan pelan. Kali ini ia dan Mari sudah berada di dalam gerbang, "Mari mau jadi anak pintar dan memiliki banyak teman 'kan?" tanyanya sebelum mereka berhenti di depan pintu.
Mari mengangguk lemah, tangan kecilnya masih melingkari leher Marco, "Eeerr─"
"Daijobu, daijobu, yoi..." Marco menurunkan keponakannya dan kembali berjongkok di depannya, ia mengangkat tangannya di depan Mari dan tersenyum menenangkan, "Ojichan akan menjemput Mari setelah Mari pulang nanti, bagaimana?" tawarnya.
Mari sendiri masih belum menjawab, bola mata hitamnya bergerak resah.
Mungkin ia takut... Marco menyimpulkan.
Ini pertama kalinya dirinya jauh dari Marco. Selama ini Mari memang selalu nempel pada ojisan-nya ini, bahkan dia setiap hari ikut Marco ke kantornya. Makanya tak heran, ruangan pribadi Marco terdapat benda-benda khas anak balita yang sering dipakainya untuk membuat Mari tetap tenang dan tidak rewel. Tak jarang Mari juga mengganggu kerja Whitey Bay.
"Eh? Masih tidak mau juga?" celetuk Marco, pemuda ini mengusap dagunya, berpura-pura memikirkan sesuatu.
Kali ini Mari menundukkan kepalanya, ugh, andai saja ia tahu bahwa sekolah itu berarti jauh dari ojisan-nya, ia tidak mau sekolah saja kalau begitu.
"Bellemere-san, sepertinya Mari belum mau bergabung dengan kelas anda, kami akan kembali lain kali saja."
Mendengar ucapan kekecewaan dari sang ojisan membuat Mari sedikit merasa bersalah, padahal sejak pagi Mari sudah heboh ingin sekolah, ia bahkan sempat rewel ketika melihat Sabo meninggalkan rumah. Tapi... setelah sampai di sini, ia malah seperti ini.
Tapi, bukan salah Mari juga, Mari kan masih kecil... dan memasuki dunia baru seperti sekolah membutuhkan mental besar, wajar saja kalau Mari seperti ini.....'kan?
Oh... atau mungkin ini tidak wajar?
"Marco-jichan," Mari mencengkeram erat rok pendeknya, "Mari─" ucapan gadis berhelai panjang yang masih berusia tiga tahun ini terputus ketika telinganya sayup-sayup mendengar suara anak-anak yang berasal dari dalam gedung.
Kepala bersurai hitamnya menoleh ke arah pintu, tatapan penuh penasaran terpampang di wajah imutnya, ia melepaskan cengkeraman tangannya pada roknya dan menunjuk pintu berwarna cokelat di depannya, "Marco-jichan, di sana─"
Dan Marco tahu benar, sebentar lagi pasti keponakannya ini akan masuk kelas dengan sendirinya.
"Bagaimana kalau Mari-chan cari tahu ada apa di dalam? Ayo, dengan Hina-sensei."
Mata besar Mari yang sejak tadi memperhatikan pintu ruang kelas kini teralihkan ketika suara lembut itu memasuki gendang telinga, dan ia mendapati seorang wanita cantik bersurai pink tersenyum manis ke arahnya dan mengulurkan tangan kanannya.
Butuh tiga detik untuk membuat senyum terpampang di wajah Mari, sepertinya wanita yang akan menjadi gurunya ini orang yang baik dan di dalam sana, pasti banyak hal yang menyenangkan, Mari hanya sayup-sayup mendengar suara anak-anak itu, tapi itu sudah cukup membuat keinginannya untuk bergabung dengan mereka membumbung tinggi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Mari menyambut tangan Hina dengan cepat.
"Eh, sebelum itu, pamit dulu dengan ojisan, ya?"
Mari mengangguk dan berlari kecil ke arah Marco, ia memeluk pemuda itu dengan erat dan mencium pipinya, "Marco-jichan, Mari sekolah dulu, yaaa~" ucapnya ceria.
Marco terkekeh dan menganggukkan kepalanya, "Hai... hati-hati dan tetap semangat... belajar yang rajin, yoi," ujarnya seraya mendaratkan kecupan di kening Mari.
"Hai, jaaa ne, Marco-jichaaaan."
Marco melambaikan tangannya menatap gadis kecilnya yang perlahan menghilang dari pandangan sebelum beralih menatap seorang wanita berhelai merah yang masih berdiri di sampingnya, "Arigatou, Bellemere-san," ucapnya sembari menganggukkan kepalanya.
"Ahaha, seharusnya aku yang berterima kasih, kalau kau tidak mengajak Mari mendekat ke sini mungkin dia akan tetap bersikeras untuk tidak mau jauh darimu. Tak kusangka, kau yang baru mengasuhnya kurang dari dua tahun ini ternyata lumayan bisa diandalkan, ya, Marco..." Marco mendengus mendengar ucapan Bellemere yang hanya tertawa dan menepuk pundak tegapnya, "Tenang saja, Mari akan baik-baik saja di sini, kau bisa leluasa memikirkan urusan kantor."
Marco kembali menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis, "kalau begitu saya permisi."
"Hai. Ingat jam satu, kau harus datang menjemput Mari."
One Piece © Eiichiro Oda
The Prince of Tennis © Takeshi Konomi
School © Mari-chan
Hal pertama yang Mari ingat ketika memasuki kelas adalah seluruh anak-anak yang sebelumnya asik bermain itu mendadak diam dan menatap kedatangan Hina-sensei. Atau...menatap kedatangannya? Entahlah, Mari sendiri tidak tahu.
Dan tak butuh banyak waktu, anak-anak yang awalnya terdiam itu kini mulai berbisik-bisik satu sama lain, mungkin mereka membicarakan Mari?
"Selamat pagi..." Hina-sensei berucap ceria, anak-anak di depan Mari berhenti berbisik dan membalas sapaannya tak kalah cerianya, "Hari ini, kita kedatangan teman baru," lanjut wanita itu pelan, Mari juga merasakan wanita cantik itu merangkul pundaknya, "...Namanya adalah Fujisaki Mari dan mulai hari ini, dia akan bergabung dengan kelas mawar. Nah, Mari-chan, ayo perkenalkan dirimu di depan teman-teman."
Mari menelan ludahnya karena seluruh pasang mata calon teman-temannya menatap dirinya. Ugh.
Ia sering bercerita di depan ojisan dan obasan-tachi nya saat berlibur di Shirohige Mansion, dan dirinya tidak merasa gemetar sama sekali, lalu kenapa di depan anak-anak seusianya dirinya malah seperti ini?
Ih, Baka Mari, apa yang kau takutkan! Rutuknya dalam hati.
Ia bukannya takut, Mari bukan gadis yang penakut, hanya saja ia sedikit gugup saat ini. Apakah seperti ini perasaan Sabo-nii ketika pertama kali masuk sekolah? Atau perasaan Marco-jichan?
Eh? Marco-jichan?
Bayangan sang Ojisan tiba-tiba muncul di dalam pikiran gadis tiga tahun ini, dan lagi-lagi pria itu mengatakan hal yang selalu dia katakan ketika menasehati Mari dan juga Sabo, 'jika kau ingin orang-orang memperhatikanmu, tataplah mata mereka, dan ketika kau sudah mendapat perhatian dari mereka, tersenyumlah, dan semuanya akan menjadi lebih mudah.'
"Daijobu, Mari-chan..." Mari terhenyak mendengar suara Hina-sensei, apakah dari tadi ia melamun? Dirinya tidak melamun, ia hanya mengingat nasihat Marco-jichan...
Iya, benar juga, ini kesempatan bagus bagi Mari untuk mempraktikkan apa yang Marco-jichan ajarkan. Ayo Mari, kau pasti bisa!
Gadis ini tersenyum hangat ke arah sang sensei dan mengangguk, ia maju satu langkah di depan wanita berhelai pink itu dan menatap teman-temannya tepat di mata, setelah ia memastikan bahwa semua pasang mata balik menatapnya, ia pun menguarkan senyum manis.
"Nama saya Fujisaki Mari, usia tiga tahun, yoroshiku!" ia membungkuk sopan dan tersenyum melihat anak-anak di depannya yang juga tersenyum kepadanya.
"Yoroshiku, Mari-chaaaaan~"
Di belakangnya, Mari mendengar Hina-sensei tertawa pelan, wanita cantik itu kembali berdiri di samping Mari dan menepuk kepalanya, "Bagus sekali, ayo semuanya, ucapkan selamat datang untuk Mari-chan."
"Mari-chan, selamat datang~" Mari sedikit meringis mendengar teriakan teman-temannya, suara mereka terdengar sangat nyaring, ia tersenyum cerah seraya memperhatikan mereka satu persatu dan senyumnya seketika lenyap begitu bola mata hitamnya menangkap bayangan seorang gadis kecil yang nampak tak bersemangat di pojok kelas.
Are?
(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~)
"Halo~" sapa Mari ceria kepada gadis yang sempat menarik perhatiannya sejak perkenalannya tadi pagi. Gadis itu terlihat sangat pendiam dan penyendiri, terbukti dari cara dia bermain, gadis yang memiliki mahkota hitam pekat seperti dirinya itu lebih memilih bermain sendiri dari pada bersama yang lain.
Entah karena dia yang sengaja menjauh atau teman-teman yang lain yang tidak mau bermain dengannya? Hmmmm...
"Bolehkah Mari ikut main?"
Gadis yang Mari sapa tidak menjawab dan hanya menatap Mari sejenak sebelum kembali fokus ke mainannya.
Eeeeeh? Ia diabaikan?? Kalau Sabo-nii tahu tentang hal ini, Mari pasti akan ditertawakan.
Mari memutar otaknya, berusaha mencari cara agar gadis yang mengenakan rok terusan berwarna biru itu mau berbicara dengannya.
Eh? Tunggu... biru kah? Dan otak gadis kecil berusia tiga tahun ini mendapatkan ide menarik.
"Oh iya, apa kamu suka warna biru? Mari juga suka warna biru, lho... ah, Marco-jichan juga suka sekali warna biru~" ucapnya semangat, namun lagi-lagi gadis misterius itu tak menggubris semua perkataan Mari dan itu membuat Mari kesal luar biasa.
Ia kesal bukan karena diabaikan, tapi ia kesal karena ia tidak bisa mengalihkan perhatian anak manis itu. Hufft! Bagaimana ini?
"Ne, Mari-chan... ayo main bersama kami..."
Mari mengalihkan pandangan dari gadis di depannya dan melambaikan tangan kanan ke arah sekumpulan anak perempuan yang memanggilnya, "Iya, Mari akan ke sana sebentar lagi," jawabnya.
Ia sebenarnya ingin bermain bersama mereka yang baru saja memanggilnya, tapi entah kenapa kedua kakinya tak mau beranjak dari sisi gadis ini.
Tunggu. Sepertinya dari tadi Mari memanggil anak perempuan di depannya ini dengan panggilan 'gadis ini', 'gadis itu' dan kalau dipikir lagi, ia sangat tidak sopan memanggil begitu. Huhu.
"Ne, ne, namamu siapa?" Ia pun memutuskan untuk bertanya, dari pada ia terus-terusan menggunakan kata 'dia' padanya, itu terkesan tidak baik.
"Pergilah, main saja dengan yang lain."
Mata besar Mari membulat mendengar suara gadis itu, suaranya terdengar lebih berat dari pada dirinya, oh iya wajar saja, tidak semua anak perempuan memiliki suara cempreng sepertinya 'kan? Dan... apa katanya tadi?
Bibir tipis Mari mengerucut, "Moou, Mari hanya ingin berteman denganmu, kenapa kau mengusir Mari?" protesnya sok galak.
"Aku tidak butuh teman."
Kini alis Mari terangkat mendengarnya. Untuk ukuran anak usia tiga tahun, gadis ini ternyata lumayan banyak mengeluarkan ekspresi. Mungkin terpengaruh dari Marco dan yang lainnya.
Apa maksudnya anak itu tidak butuh teman? Padahal Marco-jichan, dan seluruh keluarganya mengatakan semua orang butuh teman. Manusia tidak bisa hidup sendirian.
"Kenapa?" tanya Mari penasaran, ia benar-benar ingin tahu alasan kenapa seseorang tidak mau memiliki teman?
"...Tidak perlu alasan untuk tidak memiliki teman," kata gadis itu yang membuat Mari tersentak, "Kau juga kenapa keras kepala sekali mengajakku untuk bermain denganmu?" tanyanya.
Mari mengetukkan jari telunjuknya ke dagu, mencoba memikirkan jawaban yang pas untuk pertanyaan anak itu.
Tak perlu banyak waktu, sebuah jawaban sudah terlintas di benaknya dan ia nyengir lebar ke arah gadis itu seraya menggenggam tangannya erat, "Karena tidak perlu alasan untuk memiliki teman...." ujarnya tenang, kalimat Marco yang penuh wibawa berputar di otaknya, "Memiliki seorang teman itu menyenangkan, kita bisa berbagi berbagai macam hal dengan teman kita... dan yang jelas, bermain bersama teman itu lebih asik dari pada bermain sendiri. Marco-jichan yang mengatakannya, hehe."
Mari menghentikan ucapannya dan menghela napas, "Tujuan Mari sekolah selain untuk belajar agar tidak kalah dengan Marco-jichan dan Sabo-nii yang pintar adalah untuk mendapatkan teman juga... dan Mari sudah memutuskan untuk menjadikanmu teman!" katanya sedikit ngaco meski memang itu yang sebenarnya ia inginkan.
Mungkin ia tidak begitu pandai dalam mengungkapkan keinginannya, tapi ketika ia mengatakan ingin berteman dengan anak perempuan manis itu, Mari benar-benar tidak berbohong.
Senyum Mari melebar melihat gadis di depannya membulatkan kedua matanya, meski setelah itu dia kembali menunduk. Eh, sepertinya dia gadis yang sangat pemalu, ya? Terlihat dari caranya berbicara yang sejak tadi tidak mau menatap Mari, tapi tidak masalah, setidaknya gadis itu tidak seperti tadi yang sangat tidak tersentuh, "Jadi... mau 'kan berteman dengan Mari?" tanyanya.
Mendapati anggukan lemah dari temannya, Mari tak bisa menahan sorak kegirangannya, "Yattaa... mulai sekarang kita berteman! Yoroshiku, errr─"
"─Kaoru."
"Eh?"
"Namaku Kaidou Kaoru."
Dengan cepat Mari melingkarkan kedua tangan kecilnya ke leher Kaoru, memeluk teman barunya dengan erat, "Yoroshiku, Kaoru-chaaaaan.... ayo main sama-sama~" pekik Mari.
"Ugh! M-Mari, kau mencekikku."
"Ahahaha, maaf..." Mari bergegas melepaskan diri dari Kaoru dan nyengir kaku, ia buru-buru minta maaf saat menyadari bahwa dirinya terlalu bersemangat menerjang teman barunya, iya ya, Kaoru-chan kan bukan Marco-jichan yang bisa menahan terjangan Mari.
Namun cengiran Mari terhenti begitu ia melihat mata hitam Kaoru bergerak resah, ia juga memainkan rok birunya, dan dengan suara yang lirih, gadis itu bertanya pada Mari, "Ne, dari tadi... kau selalu mengatakan 'Marco-jichan', memangnya... dia siapa?"
Mari menyeringai mendengar pertanyaan Kaoru, manik hitamnya berbinar cerah, menceritakan tentang sang ojisan selalu membuatnya bersemangat, dan ia tidak sabar mengatakan betapa kerennya Marco-jichan pada Kaoru, "Kaoru-chan... dengarkan baik-baik... Marco-jichan itu─"
(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~)
"Marco-jichaaaaan."
Marco bergegas bangun dari duduknya dan melangkah menjauh dari meja kerja begitu suara nyaring keponakannya terdengar mengalun memasuki gendang telinganya.
Senyumnya mengembang melihat gadis kecil kesayangannya berlari memasuki kantornya dengan senyuman cerah terpeta di wajah manisnya.
Rok terusan sang gadis terlihat sedikit kotor di beberapa bagian, tapi bagi Marco itu tak masalah karena sepertinya Mari menikmati sekolahnya.
Ia juga melihat Jozu mengikuti di belakang dan menganggukan kepala ke arahnya yang dibalas anggukan pula oleh Marco.
"Marco-jichaaan..." Marco berjalan pelan menuju ke arah Mari dan mengangkat tubuh kecil keponakan perempuannya itu. Tawa sang gadis tak terelakkan terutama saat Marco memutarnya di udara, "Marco-jichan, hentikan, ahaha."
"Jadi? Bagaimana hari pertama Mari di sekolah?" tanya pemuda pertengahan dua puluh tahun ini begitu ia menurunkan Mari, Ia berjongkok di depan gadis tiga tahun itu untuk menyamakan tinggi mereka, "Maaf, Marco-jichan tidak bisa menjemputmu, yoi," ucap Marco penuh penyesalan.
Ia ingin sekali menjemput Mari, apalagi dirinya sudah berjanji pada Bellemere, tapi tiba-tiba Whitey Bay mengatakan bahwa ada beberapa dokumen yang perlu ia selesaikan saat itu juga sehingga membuat keinginannya pergi ke sekolah Mari hanya menjadi angan-angan.
Tapi, bukannya sedih, Mari justru tertawa. Marco sendiri secara alami mengangkat sebelah alisnya.
Gadis berhelai panjang itu menggelengkan kepala dan tersenyum manis ke arah Marco, tangan mungilnya mengusap pipinya dengan lembut, "Tidak apa-apa, kok, Mari senang dijemput Jozu-ojichan," ucapnya.
Mari terkikik geli terutama saat mengingat bagaimana syoknya Hina-sensei melihat Jozu dan mengira Jozu ingin menculik Mari. Beruntung bagi Jozu-ojichan karena Bellemere-sensei mengenalnya sehingga Hina-sensei tidak melaporkannya ke polisi atas tuduhan percobaan penculikan.
Marco tersenyum hangat mendengar ucapan keponakannya, tangan kanannya refleks mengusap kepala bersurai hitam Mari penuh sayang, "Arigatou..." katanya, "Jadi? Bagaimana tadi di sekolah, yoi?" tanyanya penasaran.
Bola mata hitam Mari berkilat dan senyumnya semakin lebar, "Mari punya teman..." gadis ini menepuk kedua tangannya dengan semangat, "Itu berkat nasihat-nasihat dari Marco-jichan, lho," Ia mengedipkan sebelah matanya yang membuat Marco tertawa renyah.
"Oh ya? Yokatta... hmmm, Marco-jichan jadi penasaran tentang teman Mari? Jadi, seperti apa dia?"
"Dia maniiiis sekali, pakaiannya juga cantik, dia memakai jepit rambut yang sama dengan Mari, padahal rambutnya tidak sepanjang rambut Mari... ah, tapi dia cantik, hehe..."
Marco belum merespon, ia masih diam, menunggu kelanjutan cerita dari Mari yang ia yakini masih panjang.
"Dia baik sekali... meski awalnya agak kaku," Mari kembali bercerita, wajahnya terlihat luar biasa ceria saat menceritakan teman barunya yang baru ia temui tadi pagi di sekolah, "ketika Mari berkenalan di depan kelas, dia diam saja di pojok, saat Mari ajak dia main, dia juga sempat menolak dan mengatakan tidak butuh teman."
"Lalu, gadis itu juga bertanya pada Mari kenapa Mari ingin berteman dengannya, Mari bilang saja seperti yang Marco-jichan katakan padanya... gadis itu sempat diam dan menunduk... dan setelah itu dia mau bermain dengan Mari... kami berdua bermain masak-masakan... kami juga membantu Hina-sensei mengumpulkan bunga-bunga yang cantik... tadi Mari sempat jatuh ketika memindahkan pot bunga, tapi tidak apa-apa karena itu menyenangkaaan~"
Marco tersenyum membayangkan cerita Mari.
"Mari suka sekali padanya~"
Dan pemuda ini terkekeh melihat Mari yang kali ini melompat-lompat kecil di depannya, "Sepertinya dia menyenangkan, ya...?" gumamnya yang disambut anggukan dari Mari.
"Marco-jichan tahu tidak, dia suka warna biruuuu..." pekik Mari riang.
Tangan besar Marco menepuk kepala Mari dan mengusap mahkota hitamnya, "Marco-jichan senang mendengar Mari memiliki teman yang baik... Marco-jichan jadi ingin bertemu dengannya juga, yoi."
Mari mengangguk semangat dan kembali memekik, "Tentu saja Marco-jichan harus bertemu dengan diaaaa... Marco-jichan juga pasti menyukainya, dia manis sekali~"
"Haha... lalu, siapa nama teman Mari?"
"Namanya Kaoru-chan!"
/YHA
The End
Mihihihihi.... ah, ini... wkwkwkwk
Gak tahulah mau komen apa :") sebenarnya scene yang Marco menggendong Mari dan mengajaknya ke deket sekolah biar Mari denger suara anak-anak itu saya dapat dari salah satu murid dan bapaknya wkwkwk
Pas itu salah satu muridku ini gak mau masuk kelas, dia gak mau banget pisah sama ayahnya, nggondeli terus gitu... terus bapaknya ini pinter banget bujukinnya, anaknya digendong dan dideketin ke kelas, pas denger di dalam anak-anak lain pada main, anak cewek ini langsung mau masuk, ahaha... di situ peran saya ya sebagai Hina, yang ngajakin masuk /dor
Dan saya jadi kepikiran kalo pasangan bapak-anak itu diibaratkan Marco dan Mari /yha
Cocok kok tapi~ /krik
Ah dan Kaoru-chaaaaan... BWAHAHAHAHAHA MARI BISA GAGAL FOKUS GITU, DIA KIRA KAORU-CHAN CEWEK LOL
Kan dulu di Tenipuri, si Koharu pernah bilang kalo semasa kecil, Kaoru-chan itu disalahkenalkan (?) sebagai cewek, yha Mari ini yang kenal dia sebagai cewek wkwkwk maafken
Bang Sabo belum muncuuuul, ah nanti di Omake muncul kok /SPOILER/
Poor Jozu-ojichan, dikira mau nyulik anak wkwkwkwkwkwkwkwk dan Mari cuma nyengir2 lihat Jozu dimarahin Hina, untung Bellemere-san cepet muncul yak XD
Yay! Oh iya, ini tanggal 10 november, yaaaa... Selamat hari Pahlawaaaan~ Ayo lanjutkan perjuangan para pahlawan dengan tetap menjunjung tinggi nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah aiiirrrr... /tumbenbener
Say Cheese~ |
Omake
'Kapan-kapan, ajak Kaoru-chan ke rumah, Sabo-nii juga ingin bertemu dengannya, yoi.'
Mari tersenyum lebar mengingat ucapan Marco semalam tentang mengajak temannya berkunjung ke rumah. Sudah seminggu Mari berteman dengan Kaoru dan dirinya memang sudah berniat mengajak Kaoru ke rumahnya untuk bertemu dengan kakaknya. Karena Kaoru sudah bertemu Marco setiap Marco mengantar Mari sekolah.
"Ke rumah Mari?" mata hitam Kaoru bergerak ke kanan dan kiri, ia memainkan kedua tangannya dan enggan bertatap muka dengan Mari, "Tapi─"
"Eits! Apakah Mari sudah bilang kalau Mari tidak menerima jawaban tidak?" potong Mari dengan cepat dan senyumnya mengembang melihat Kaoru yang membuka dan menutup mulut layaknya ikan koi, "Belum bilang, ya? Ya sudah, Mari tidak menerima jawaban tidak, hehe," gadis ini tertawa kecil.
Mari mengangkat tangan kanannya dan menggelengkan kepalanya begitu ia melihat gelagat Kaoru yang ingin kembali protes, "Pokoknya nanti Kaoru-chan pulang bersama Mari, ya? Yay! Mari akan memberitahu Hina-sensei agar memberitahu orang tua Kaoru-chan bahwa Kaoru-chan akan pulang ke rumah Mari hari ini."
Duh, anak ini... masih tiga ahun tapi keegoisannya sudah level admiral begitu. Pasti sifat 'obasan'-nya yang hobi dandan itu yang mempengaruhinya.
.
Kaidou tidak tahu harus bagaimana saat tangannya ditarik paksa oleh Mari menuju ke arah mobil milik ojisan dari gadis itu yang terparkir di depan gerbang sekolah.
Hina-sensei dan Bellemere-sensei melambaikan tangan ke arah mereka dengan senyuman lembut dan mengatakan bahwa kedua orang tua Kaoru mengijinkan Kaoru pulang ke rumah Mari. Ugh.
Ia ingin lari, tapi genggaman tangan Mari sangat erat, padahal dirinya laki-laki tapi kenapa seolah tenaganya kalah dari Mari?
Oh, Kaidou Kaoru-kun, andai saja kau tahu, meski Mari adalah seorang gadis kecil, kekuatan tekadnya itu tidak bisa dianggap remeh. Marco dan Sabo saja kalah lol.
"Mari? Aku─"
"Marco-jichaaaaan~"
Bola mata hitam Kaidou melebar mendengar teriakan Mari yang memanggil nama ojisan-nya, Kaidou sering melihat ojisan dari temannya itu, tapi ia hanya melihatnya dari jauh dan mereka pun tak pernah terlibat obrolan.
Bagaimana mau terlibat obrolan kalau setiap harinya Kaidou hanya melihatnya dari dalam gerbang sementara ojisan dari Mari berada di luar gerbang.
Dan jantung Kaidou hampir berdiri begitu langkahnya hampir sampai di tempat parkir... di sana, tepat di depannya, seorang pria pirang dengan model rambut yang aneh─seperti buah tropis─melambaikan tangan dan tersenyum ramah ke arah mereka.
Tapi bukannya ikut tersenyum dan membalas lambaian tangan lelaki itu seperti halnya Mari, Kaidou justru ingin menangis.
Ia takut, Kaidou tidak pernah berkunjung ke rumah teman sebelum ini, karena dirinya memang tidak punya teman. Semua anak laki-laki di kompleksnya menjauhinya, menurut mereka Kaidou itu aneh karena sebagai anak lelaki, pakaian-pakaiannya malah seperti perempuan.
Menurutnya itu bukan kesalahannya, ibunya yang memilihkan baju untuknya dan Kaidou sangat menyayangi ibunya, tidak ada salahnya menurut orang tua 'kan?
Itulah sebabnya Kaidou gugup setengah mati. Bagaimana kalau nanti kakak dari Mari yang laki-laki itu akan ikut mengejeknya karena memakai pakaian perempuan? Ia tidak mau itu.
Tarikan di tangan kanannya membuat Kaidou kecil tersadar dari lamunan dan tanpa disadari, ia sudah berdiri tepat di depan ojisan dari Mari yang tersenyum ke arahnya. Buru-buru ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan kegugupannya.
"Marco-jichan... ini Kaoru-chan."
Kaidou menelan ludahnya, masih belum berani mengangkat kepalanya. Duh, Mari ini, kenapa enteng sekali memperkenalkan dirinya pada ojisan-nya? Tidak sadarkah gadis itu kalau sekarang Kaidou sedang gugup?
"Yo, Kaoru," usapan lembut di kepala membuat Kaidou mengangkat wajahnya, lelaki pirang yang ia tahu bernama Marco─iya, ia sering dengar Mari bercerita tentangnya─tersenyum ramah padanya, dan ada perasaan nyaman mengaliri dada Kaidou kecil ketika melihatnya. Meski penampilan ojisan dari Mari itu sedikit eerr─aneh─tapi Kaidou merasa bahwa laki-laki di depannya ini bukanlah orang yang jahat.
"Aa, hai," Kaidou menjawab sambil terbata, suara tawa lembut yang ia dengar dari Marco membuat wajahnya memanas karena malu, ugh... "K-konnichiwa, Marco-san," ucapnya pelan seraya membungkukkan badannya.
"Konnichiwa, Mari-chan... Kaoru-chan..."
Sahutan suara khas anak laki-laki membuat Kaidou─dan juga Mari─tersentak, dua kepala anak berusia tiga dan empat tahun ini menoleh ke arah mobil, sebuah kepala pirang menyembul dari dalam mobil hitam itu.
Pirang lagi? Kaidou membatin. Dan lagi, luka bakar di bagian mata itu─
"Sabo-nii!" teriakan Mari memecah isi pikiran Kaidou, ia pun melirik Mari yang berlari ke arah pintu mobil yang terbuka dan memeluk anak laki-laki pirang yang baru saja keluar dari mobil itu, apakah itu kakaknya Mari? Kakaknya Mari, punya luka bakar di wajah?
"Yo! Kau pasti Kaoru-chan 'kan?" anak laki-laki yang belum Kaidou ketahui namanya tapi entah kenapa begitu familiar (terima kasih pada Mari yang setiap hari menceritakan kakak dan ojisan-nya) itu tersenyum lebar kepadanya, membuat dirinya kehilangan kata-kata, "Yang sabar, ya, berteman dengan Mari, hehe," katanya dan kakak dari Mari itu meringis merasakan injakan di kakinya yang Kaidou tebak pasti dilakukan oleh Mari.
Hah? Apa maksud kalimatnya itu?
Kaidou menatap kakak beradik Fujisaki yang kini malah terlibat pertengkaran kecil, "Kaoru-kun, ayo masuk," Kaidou mengalihkan pandangan dari Mari dan kakaknya dan kali ini menatap Marco, perlahan ia menganggukkan kepalanya. Eh, tunggu, tadi Marco memanggilnya dengan suffix 'kun' apakah artinya Marco tahu bahwa dia─
"Haha, jangan kaget begitu, aku tahu Kaoru adalah laki-laki, tenang saja, tidak masalah kalau Kaoru menyukai hal-hal seperti perempuan, lagipula, Kaoru manis, yoi."
Bola mata gelap Kaidou membulat sempurna mendengar ucapan Marco, tapi sesaat kemudian, ia tersenyum penuh kelegaan. Ini pertama kalinya seseorang mengatakan dirinya tidak aneh karena penampilannya, "Arigatou, Marco-san."
"Kaoru-chan, ayo masuk... Sabo-nii membawa sesuatu yang bagus... kau pasti akan menyukainya... ah, jangan dengarkan ucapan Sabo-nii yang tadi, yaaa~"
Kaidou mengangguk semangat dan menyusul Mari memasuki mobil. Mari benar-benar berbeda dengan teman-teman di kompleksnya yang selalu mengejeknya, keluarganya juga baik. Untuk pertama kalinya, Kaidou merasa bersemangat sekali berkunjung ke rumah seorang teman. Dan semua itu karena Mari.
Owari~
No comments:
Post a Comment