(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~) Hello, Mari-chan is here ★★★ A cheerful, sweet, innocent and light idiot girl who loves Trafalgar Law more than anyone ♡♡♡ Trafalgar Law's Wife ♡ Fushichou Marco's Niece ★★ Sabo & Echizen Ryoga's Sister★ ★ Whitebeard Pirates & Heart Pirates ★★ Kaidou Kaoru and Momoshiro Takeshi's Bestfriend ★★ One Piece ── One Piece Live Attraction ★ Prince of Tennis ★ Hunter X Hunter ★ Death Note ★ MarcoAce is Life. MarcoAce is Love ♥ Sweet Combi ♥ Rival Pair ♥ Seigaku ★ Extremely biased towards Ishiwatari Mashu and Kimura Tatsunari ♥ Yoroshiku ♥ and welcome to my (weird) blog (ノ゚▽゚)ノ

Saturday 8 December 2018

Mother's Day

Hari Ibu.

Semua teman-teman Mari di kelas membicarakan hal itu. Ia tahu apa maksud dari hari ini. Hanya saja selama ini ia tidak pernah merayakannya. 

Sudah jelas, karena sejak kecil ia sudah tidak memiliki seorang ibu. Mari diasuh oleh Marco yang merupakan adik dari ibunya. Dan... Marco jelas bukan seorang ibu karena Marco laki-laki. 

"Hhhh," Mari menghela napas. Ia memperhatikan beberapa teman-temannya yang asyik ngobrol satu sama lain, sayup-sayup ia mendengar mereka merencanakan apa saja yang akan mereka lakukan di hari ibu. 

"Hari ibu, kah?" Gadis ini menggumam lesu, ia jadi ingin merayakannya juga. Mengucapkan selamat hari ibu pada ibunya dan mendapat balasan sebuah senyuman dan pelukan hangat. 

Bagaimana ia bisa merayakan hari ibu bersama ibunya jika ibunya sudah tidak ada bersamanya sejak ia masih kecil? "Okaasan," ucapnya lirih dan penuh kerinduan.  

One Piece © Eiichiro Oda 

The Prince of Tennis © Takeshi Konomi 

Mother's Day © Mari-chan 


"Kaoru-chan hari ini sibuk kah?" 

Kaidou berhenti mengikat bandana hijaunya dan menatap sang sahabat, alis hitamnya berkerut memperhatikan ekspresi wajah dari sahabat sejak kecilnya yang nampak lain dari biasa, ada apa dengan Mari? Ia membatin. 

"Kaoru-chan? Kenapa diam saja?" 

Kaidou sedikit berdehem dan melanjutkan kegiatan mengikat bandana sebelum kemudian meraih raket abu-abunya dari dalam tas, "Aku mau main tenis, fshuuu," ia menjawab seraya mengetukkkan raketnya ke kepala Mari. 

Tapi yang membuat Kaidou luar biasa khawatir adalah, tak ada perubahan ekspresi yang berarti dari Mari meskipun Kaidou melakukan hal yang sangat tidak disukai oleh Mari─mengetukkan raket tenis ke kepala seseorang. 

"Oi." 

"Setelah main tenis, Kaoru-chan masih sibuk?" 

Dan Kaidou tahu pasti ada yang salah dengan gadis ini, "Fshuuuu," Kaidou mengusap kepalanya yang sudah berbalut bandana hijau dengan rapi, "Sebenarnya aku ada acara dengan Hazue setelah ini," ucapnya pelan, sedikit menghindari ucapan-ucapan yang akan membuat sahabatnya ini tidak nyaman. 

"....apakah ini ada hubungannya dengan hari ibu?" 

Niat Kaidou untuk kembali menyembunyikan hal tentang Hari Ibu pada Mari seperti tahun-tahun sebelumnya sepertinya tidak akan berhasil di tahun ini. 

Mungkin dulu Mari tidak begitu memperhatikan karena dirinya masih kecil, tapi sepertinya di usia tiga belas tahun ini, Mari bukan lagi gadis kecil yang mudah dibohongi. 

"Ternyata benar, ya, Kaoru-chan dan Hazue-kun akan merayakan hari ibu bersama Hozumi-basan?" 

Kaidou menepuk pelan keningnya, seharian ini dirinya sudah mencoba sekuat tenaga menghindari Mari demi menghindari pertanyaan-pertanyaannya tentang hari ibu, tapi ternyata susah menghindari sahabatmu jika sahabatmu itu orang yang paling tahu tentang dirimu. 

"Fshuuuu," desisan kembali dikeluarkan oleh pemuda empat belas tahun. Apa yang harus ia katakan? Ayo, putar otakmu, Kaoru.... "Kalau mau, Mari bisa ke rumah untuk merayakannya bersama kami," itulah ucapan super jenius yang berhasil dipikirkan oleh otaknya dalam waktu dua detik. 

Tapi lagi-lagi Kaidou terkejut ketika Mari menggelengkan kepala dan tersenyum, "Itu kan acara keluarga kalian, aku tidak mau mengganggu." 

"Baka!" bentakan itu keluar tanpa disadari, membuat Mari dan bahkan dirinya sendiri terbelalak kaget, bagaimana bisa dia membentak sahabatnya seperti itu. Ugh. Tapi Kaidou benar-benar tidak suka dengan nada bicara Mari. Biasanya tanpa disuruh pun gadis itu akan mengikutinya pulang dan menginvasi rumahnya seolah itu adalah rumahnya sendiri. Tapi hari ini dia memang aneh, tidak seperti Mari yang dia kenal. Dan itu juga yang membuatnya marah, marah karena tidak bisa menebak jalan pikiran Mari. Ah bodohnya... 

"Mari," Kaidou mengulurkan tangannya, mencoba meminta kembali perhatian Mari yang kini menundukkan kepala "aku─" 

"Ah, ahaha, maafkan aku, Kaoru-chan, a-aku h-hanya─" 

Tanpa memberi kesempatan Mari menyelesaikan kalimatnya, Kaidou terlebih dahulu memeluk sang gadis karena demi apa pun Kaidou sangat mengerti jika nada bicara Mari sudah terbata seperti itu, tinggal menunggu waktu saja sampai dia menangis, "Baka, seharusnya aku yang minta maaf, aku tidak bermaksud membentakmu tadi," ia berucap lirih. Merasakan tubuh Mari gemetar dan mendengar isakan pelan dari sang sahabat membuat hati Kaidou sakit, bodoh kau Kaoru. 

"Aku hanya tidak suka kau mengatakan kau akan mengganggu acara keluarga kami, dasar bodoh, kau itu juga bagian dari keluarga kami, fshuuu," lanjut Kaidou lagi seraya mengusap helaian hitam milik Mari. 

Kaidou menghembuskan nafas pelan, "Kau seharusnya tahu, Okaasan sudah menganggapmu sebagai putrinya kan?" ujarnya. 

Anggukan kepala Mari sudah cukup membuat perasaan Kaidou membaik, ia melepaskan diri dari sahabatnya itu dan memegang pundaknya, "lalu, apa jawabanmu?" 

Tapi Mari kembali menggelengkan kepalanya, "Aku tahu bagaimana Hozumi-basan, tapi aku tidak bisa merayakannya bersama kalian, gomen, oh iya, sampaikan ucapan selamat hari ibu dariku untuk Hozumi-basan, ya, hehe," jawab Mari sambil nyengir lebar. 

Kaidou membuka dan menutup mulutnya tanpa tahu harus berkata apa, "fshuuuuu," dan akhirnya hanya desisan yang bisa ia keluarkan,"Iya, iya, nanti kusampaikan." 

"Arigatou, Kaoru-chan!!!" dan Kaidou hanya bisa memutar kedua bola matanya mendapati terjangan maut dari Mari. 

"Oi, kalian berdua yang di sana, sampai kapan kalian berdua mau main drama dengan peluk-pelukan seperti itu! Kaidou! Fujisaki!" 

Ops! Kaidou bahkan tidak menyadari bahwa sedari tadi dia berada di pinggir lapangan tenis. Hhh, mengkhawatirkan Mari membuatnya lupa akan sekeliling. Ia menepuk kepala Mari sekali lagi sebelum berlari ke arah sang sensei dan juga teman-temannya. 

Tapi teman-temannya di klub tenis sudah sangat paham dengan hubungannya dan Mari, dan hal seperti ini pun tidak terjadi sekali dua kali, melainkan berkali-kali. Terbukti dari suara tawa yang ia dengarkan dari mereka semua setelah mendengar teguran itu, "Fshuuuu, summimasen Ryuzaki-sensei." 

"Kaoru-chaaaan, latihan yang rajin, neee... Mari pulang dulu, hahaha." 

Gadis itu!!!! 

(~●ω●)~  ~(●ω●)~  ~(●ω●~) 

"Traffy pernah merayakan hari ibu?" 

Law mengangguk singkat. Ia menyamankan duduknya setelah sang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Ia dan Mari tengah bersantai di cafe langganan yang sering mereka datangi ketika ingin membicarakan sesuatu atau hanya untuk mengisi waktu  bersama. Pesanan mereka sudah datang tapi baik Mari maupun dirinya belum menyentuhnya sama sekali. Hal yang aneh karena biasanya Mari akan langsung mencomot kue yang disajikan tanpa aba-aba. Ada yang aneh. 

"Menyenangkan tidak?" 

Alis Law terangkat sebelah, manik gelapnya menatap gadis yang duduk di depannya dengan penuh selidik, "Kenapa kau menanyakan hal seperti itu?" tanyanya heran. 

Mari meringis lebar dan mengusap pipinya yang sedikit memerah, membuat Law semakin heran. "Tidak apa-apa, hanya penasaran, hehe." 

Law memicingkan mata, "Hari ibu atau bukan tetap akan menjadi hari yang menyenangkan jika kita melewatkannya bersama orang-orang yang berharga," katanya sembari mengangkat cangkir berisi kopi yang sempat ia diamkan selama beberapa menit. Minum kopi dingin itu tidak enak, makanya harus cepat diminum. 

"Begitu, ya..." 

Law kembali mengangguk, menunggu kelanjutan kalimat dari Mari sambil menyeduh kopinya. Tidak terlalu manis, sesuai pesanannya. Sekarang tahu kenapa ia selalu memilih tempat ini. Ia menyeringai. 

"Aku ingin merayakan hari ibu, Traffy." 

Dan sekuat tenaga Law mencegah mulutnya untuk tidak menyemburkan kopi yang baru saja ia minum, "Hah?" pekiknya kaget. Tidak seperti dirinya sih, tapi demi apa pun ia kaget. Wajar saja kan? 

"Menurutmu bagaimana caranya aku merayakan hari ibu?" 

Law mendelik menatap Mari, namun ekspresi gadis itu tetap sama, penuh dengan rasa penasaran. Sang calon dokter hanya mengusap kepala dan menghembuskan napas. Mari benar-benar ingin merayakannya ya? Oke... dan kini otak jenius Law dipaksa untuk berpikir, bagaimana caranya ia membantu calon pasiennya ini merayakan hari ibu di saat Law tahu bahwa ibunya sudah tidak ada. 

"Hhhhh, Mari, permintaanmu kali ini lumayan berat," ia menggumam. Ternyata dirinya tidak begitu jenius jika sudah menyangkut Mari. Ia juga heran kenapa otaknya mendadak tumpul begini. Semua memang salah Mari, sih. Batinnya, mata gelapnya masih belum teralih dari tatapan penuh penasaran dari gadis di depannya. 

"....Jadi, aku tidak bisa merayakan hari ibu, kah, Traffy?" 

Ugh! Seketika Law mengalihkan pandangan dari tatapan memelas Mari, sial, sampai kapan pun ia tidak akan menang jika Mari sudah menatapnya seperti itu. 

Ayo Law, berpikir lagi! 


(~●ω●)~  ~(●ω●)~  ~(●ω●~) 

"Traffy?"

Law mengusap belakang lehernya dan mengalihkan pandangan dari Mari yang masih memperhatikan dirinya dengan mata besar yang masih saja penuh akan rasa penasaran itu. Kenapa dirinya tidak pernah bisa terbiasa dengan Mari padahal Law mengenal Mari sejak kecil, tapi tatapan gadis itu tidak pernah kehilangan efek untuknya. Menyebalkan sekali.

"Kenapa kau membawaku ke─sini?" mendengar pertanyaan Mari membuat Law menghembuskan nafas yang entah sejak kapan ditahan.

Tidak heran jika Mari bertanya seperti itu, pasalnya Law mengajaknya ke pemakaman. Ya, hanya itu ide terbaik dari otak jeniusnya ketika memikirkan bagaimana caranya membantu Mari merayakan hari ibu di saat ibunya sudah tidak ada.

Calon dokter ini berjalan santai dan mendekat ke arah Mari "Kau pikir saja sendiri kenapa aku mengajakmu ke sini, lihat itu," katanya seraya menunjuk sebuah makam dengan foto seorang wanita cantik bersurai pirang tengah tersenyum manis. Dan di bawah foto itu terdapat sebuah nama yang sangat familiar bagi Mari.

Manik hitam milik Mari membulat sempurna, ia menutup mulutnya dengan tangan... matanya nampak berkaca-kaca. Tinggal menunggu waktu saja sampai air matanya mengalir, "O-Okaasan?"

"Merayakan hari ibu tidak hanya dengan membantu pekerjaan ibu di rumah atau membuat kue atau memberi hadiah pada ibu, kau mengerti?" ucap Law, ia menepuk pundak Mari, jari jari panjangnya mengusap air mata yang mengaliri pipi pucat sang gadis. Tak lupa setelahnya ia juga memberikan bunga yang tadi dibelinya pada gadis itu.

Mari menganggukkan kepala dan tersenyum. Ia menerima bunga pemberian Law dengan semangat setelah sebelumnya ikut mengusap air matanya secara kasar.Tanpa membuang waktu lagi, ia berjongkok di samping makam sang ibu dan menaruh bunga cantik itu di depan foto yang tak kalah cantiknya, "Okaasan..."

Law tersenyum tipis dan perlahan beranjak dari sisi gadis itu, memberikan waktu padanya untuk merayakan hari ibu dengan ibunya.

(~●ω●)~  ~(●ω●)~  ~(●ω●~) 

"Marco-jichan..... selamat hari ibu..." 

Marco yang tengah menyesap kopi pahit buatannya dan juga Sabo yang masih sibuk di depan laptop  serentak menatap Mari yang baru saja pulang dan memasuki ruang keluarga dengan berlari kecil penuh semangat. Ditambah lagi, Mari baru saja mengatakan...Tunggu sebentar!. Apa katanya tadi? Hah? Marco tidak salah dengar...kan? 

"Mari?" Marco menggumam tak percaya, keponakan perempuannya mengatakan selamat hari ibu padanya. Oke.

Cengiran lebar dari Mari semakin membuat Marco heran, pria pirang ini meletakkan kembali cangkir kopinya yang sangat disyukuri dirinya tidak menyemburkan minumannya tadi dan kini berjalan ke arah keponakan perempuannya yang masih berdiri di depan ruang keluarga. 

"Marco-jichan tahu tidak, hari ini kan hari ibu," ujar Mari dan Marco menyambut dengan anggukan, "Jadi... karena Okaasan sudah tidak ada dan hanya ada Marco-jichan, makanya Mari mengucapkan selamat hari ibu untuk Marco-jichan... bagaimanapun juga, Marco-jichan kan tidak hanya berperan sebagai seorang ayah, tapi juga ibu bagi Mari... jadi, ini untuk Marco-jichan, terima kasih karena sudah merawat Mari dengan baik." 

Marco mengedipkan kedua matanya melihat Mari tersenyum seraya menyodorkan sebuah kado untuknya. Satu detik berlalu dan ia kembali berkedip. Dan untuk ketiga kalinya ia membuka dan menutup manik birunya, "Hah?" dan hanya itulah respon dari si jenius Marco. Terlalu syok dengan semua yang dikatakan oleh Mari barusan. 

"Apa ini, Marco-jichan tidak suka?" Mari mengerucutkan bibir dan berjalan melewati Marco yang masih terbengong. 

Tunggu... Jadi, Mari mengucapkan selamat hari ibu dan memberikan kado untuknya di hari ini. Karena Mari menganggap Marco tak hanya sebagai ojisan, tapi juga ayah dan bahkan ibunya. Astaga, Marco bahkan tidak menyadari bahwa gadisnya sudah sedewasa itu, "Mari, Marco-ji─are? Di mana Mari?" gumam Marco ketika tak ditemukannya Mari di mana pun.  

"Marco-san dari tadi diam saja, Mari sudah masuk ke kamar... dan... sepertinya dia marah." 

WHAT THE HELL!!! Kenapa Marco bisa selemot ini sih? "Sabo-kun, ayo ikut Marco-san!" 

"Lah? Kenapa aku juga?" 

(~●ω●)~  ~(●ω●)~  ~(●ω●~)

"Hei, Marco-jichan minta maaf, yoi..." 

Urusai! 

Mari mencoba tak peduli, dirinya masih memeluk bonekanya dan menutupi seluruh tubuh dengan selimut, tanpa memperdulikan Marco yang beberapa menit lalu memasuki kamarnya bersama sang kakak. Iya ia tahu dari langkah kaki mereka berdua. Ia belum merespon permintaan maaf Marco, menatap pria itu pun tidak. Ia masih kesal, jelas. Reaksi Marco ketika ia mengucapkan selamat hari ibu tak sesuai yang diharapkan.

Awalnya Mari bingung bagaimana merayakan hari ibu ketika ia tak memiliki ibu. Tapi ucapan Law sebelum mengantarnya pulang berhasil menyadarkannya bahwa ada satu orang yang paling pantas mendapatkan ucapan selamat dan terima kasih dari Mari di antara semuanya. Iya, Marco. Dan Mari merasa sangat bodoh karena tidak menyadarinya sendiri.

Marco mengasuhnya sejak Mari kecil, bersama Sabo. Bagi pemuda yang masih belum dewasa, mengasuh dua anak kecil pasti susah. Tapi Marco melakukannya dengan baik—sangat baik malah. Marco memberikan semua yang dimiliki untuk Mari dan Sabo, mengesampingkan semuanya dan lebih mengutamakan mereka berdua. Padahal saat itu Marco bisa saja lebih memilih karirnya yang tengah melejit sebagai salah satu calon profesor hebat karena kejeniusannya. Tapi sekali lagi, Marco lebih memilih Mari dan Sabo.

Mari menyadari bahwa ia sudah menghancurkan impian Marco. Dan dirinya hanya ingin menunjukkan pada Marco bahwa ia berterima kasih. Tulus dari hatinya. Seperti yang ia katakan, Marco lebih dari seorang Ojisan. Lebih, lebih, dan lebih dari itu. Kalau tidak ada Marco, entah apa yang akan terjadi pada Mari dan Sabo. Mari pasti tidak akan tumbuh menjadi gadis seperti ini.

"Mari, Marco-jichan minta maaf."

Tidak.

Dalam sekejap Mari merasakan dadanya sesak, mengingat semua tentang Marco membuat hatinya dipenuhi perasaan haru, tapi mendengar pria itu meminta maaf membuat hatinya sakit. Apa yang sudah ia lakukan, kenapa malah Marco yang meminta maaf? Marco meminta maaf karena merasa bersalah. Padahal jika dipikirkan lagi, Marco tidak salah apa-apa. Yang salah adalah Mari, karena Mari bersikap kekanakan...

"Mari-"

"Tidak!" Mari menyela cepat, ia membuka selimut yang membungkus tubuhnya, air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi. Dan ketika melihat Marco yang dipenuhi perasaan bersalah, hati Mari semakin sakit, buru-buru Mari menghamburkan diri ke arah Marco, memeluk pria itu erat dan menangis sejadinya, "Tidak, Marco-jichan tidak salah. Seharusnya Mari yang minta maaf, Mari sudah egois kekanakan dan, dan," Mari tak menyelesaikan kalimatnya, ia tak tahu harus mengatakan apa.

"Maaf kalau Marco-jichan tidak suka dengan ucapan Mari," lanjutnya lirih.

"Tidak seperti itu, Mari. Marco-jichan hanya kaget," ucap Marco, tangannya mengusap kepala Mari, menenangkannya yang masih terisak, "Marco-jichan tidak menyangka Mari akan mengatakan hal itu," ujar pria berusia tiga puluhan tahun tersebut, membuat air mata Mari mengalir semakin deras, "Arigatou, yoi," Marco mengecup pucuk kepala Mari penuh sayang, membuat tangis Mari semakin tak terkendali.

"Ku pikir Marco-ji tidak suka... Mari, hanya ingin merayakan hari ibu dengan Marco-jichan, karena bagi Mari... Marco-jichan itu melebihi seorang ibu bagi Mari," ujar Mari diselilingi isakan tangis, tangan kecilnya mencengkeram erat kemeja ungu Marco.

"Hahaha, kenapa Mari jadi cengeng begini... ayo jangan menangis," Marco berusaha menghentikan tangis Mari tapi efeknya malah sebaliknya, Mari tak berhenti menangis sama sekali. 

Di sudut ruangan, Sabo tersenyum hangat melihat Mari dan Marco. Ia tak menyangka akan mendengar ucapan yang sangat menghangatkan hatinya itu dari adiknya yang selalu dia anggap masih bocah.

Terkadang Mari bisa sangat dewasa menyikapi kehidupan, tapi tak jarang sifatnya seperti bocah TK.

Dan hari ini Sabo melihat sisi lain dari adiknya. Hari ini, Hari ibu kah? Benar juga, jika harus merayakan hari ibu, orang yang paling pantas mendapat ucapan jelas Marco-san.

Senyum Sabo belum luntur, ia berjalan menuju dua orang paling berharga dalam hidupnya itu dan merangkulkan kedua tangannya pada tubuh kecil Mari yang masih dipeluk oleh Marco.

Marco yang menyadari itu langsung melepaskan sebelah tangannya dari tubuh Mari dan merangkul Sabo sehingga kini dua keponakannya itu ada dalam dekapannya.

"Selamat hari ibu, Marco-san. Arigatou gozaimasu!" Sabo berucap lirih, namun cukup bagi Marco untuk mendengarnya, terbukti dari balasan 'Kau juga ikutan, Sabo-kun' serta tawa renyah setelahnya. Sabo tersenyum dan mengeratkan pelukannya.

(~●ω●)~  ~(●ω●)~  ~(●ω●~)

"Ini?" Sabo membelalakkan mata, tak percaya Marco membawanya ke tempat ini, "Marco-san?" 

"Tempat yang paling cocok merayakan hari ibu, jelas bersama ibu kalian. Karena itu aku membawa kalian ke sini," jawab Marco, masih berjalan santai diikuti dua keponakannya yang masing-masing dari mereka membawa sebuket bunga. 

Mari nampak biasa saja, malah wajahnya terlihat berbinar. Ia tak mengerti. Tapi, yah, Sabo juga merindukan ibunya... sudah lumayan lama ia tak ke pemakaman. Salahkan tugas kuliahnya yang beranak pinak setiap harinya. 

Sesampainya di makam Nyonya Fujisaki, Marco dan Sabo terkejut menemukan dua buket bunga sudah berada di atas nisan. 

"Tadi Mari ke sini bersama Traffy, mihihi," ucap Mari seolah mengerti arti tatapan penasaran dari dua pria pirang kesayangannya. 

Sabo mendelik, ditatapnya sang adik dengan tatapan tajam, "Heh, dengan siapa????? Law???? Kenapa harus dengannya???" Sabo tak terima. 

Marco tertawa, diacak rambut pirang Sabo dengan gemas, "Sudahlah, Sabo-kun... ayo duduk, kita berdoa untuk ibu kalian," ajaknya. 

The End 

Hulllaaaawww.... CHESSY BANGET, ALLAHU AKBAR, SEPERTINYA TULISANKU MAKIN KE SINI MAKIN GA JELAS YE WKWKWKWKW GA APA TADI SAYA BANGGA /dibalangkapur 

Waduh, lama banget ya ga nulis di sini... HAMPIR SETAHUN HUHUHUHU MAAFKAN, MARI SIBUK!! INI JUGA SIBUK SIH TAPI TETEP DIPAKSA NULIS KARENA TADI HABIS IKUT PELATIHAN BIKIN WEBSITE TERUS KEBUKA BLOGSPOT DAN NYADAR GA PERNAH NULIS /KRIK 

Ini... duh kangen Marco-jichan :"( OH IYA MARCO-JICHAN UDAH MUNCUL DI MANGAAAAAA HURRAAAAAAY 

Seneng banget lihat Marco-ji baik² aja dan jadi dokter... SUAMI SAMA OJISAN DOKTER SEMUA DUUUH >3< 

Ini kenapa malah jadi kalap wkwkwk

Dan kenapa nulis hari ibu? Mungkin karena ini bulan desember dan di tanggal 22 ntar ada hari ibu jadi ini mendahului kodrat (?) dan buat sekarang aja HAHAHAHA /apah

Traaffffy >/////< 
GANTENG BEUD HASBU SAYA O//////////O Ngebayangin dia ngasih bunga dengan ekspresi begitu, yakin dah itu Mari ga jadi naruh bunganya di makam ibunya wkwkwkwk /GAGINIJUGA

Tapi ya kan di sini ada scene Traffy ngasih bunga ke Mari, pokoknya gitu lah /APAAN

Fushicou Marco
Sebenarnya orang kek gini dikasih ucapan SELAMAT HARI IBU tuh ga cocok banget ya HAHAHAHA tapi sifat Marco-jichan emang keibuan banget T//////T That's why Mari sama Sabo sayang banget sama dia, udah baik, penyayang, sabar lagi... ah Marco-jichan the best banget >/////<

Bang Sabo
Si Abang muncul cuma sebentar tapi ga afdol kalo ga aplod dia sekalian. ABANG GUE GANTENG SUBHANALLAH /woi

Udah yaaaa.... akhirnya pecah telor juga di tahun ini meski cuma bisa nulis satu cerita, mana gini banget ceritanya wkwkwkwk ga apa yang penting nulis, IYAIN AJA BIAR MARI SENENG!

Sampai jumpa di postingan selanjutnyaaaaaaa.... Dan selamat tahun baru 2019!
HEH INI TANGGAL BERAPA BWAHAHAHAHA

Ya mending di awal dari pada telat O_____O"

BUBAAAAAAAAAAAAAAAYYYY~ *TEBAR KONFETI* 

No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger

Translate

Awesome Inc. theme. Powered by Blogger.