(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~) Hello, Mari-chan is here ★★★ A cheerful, sweet, innocent and light idiot girl who loves Trafalgar Law more than anyone ♡♡♡ Trafalgar Law's Wife ♡ Fushichou Marco's Niece ★★ Sabo & Echizen Ryoga's Sister★ ★ Whitebeard Pirates & Heart Pirates ★★ Kaidou Kaoru and Momoshiro Takeshi's Bestfriend ★★ One Piece ── One Piece Live Attraction ★ Prince of Tennis ★ Hunter X Hunter ★ Death Note ★ MarcoAce is Life. MarcoAce is Love ♥ Sweet Combi ♥ Rival Pair ♥ Seigaku ★ Extremely biased towards Ishiwatari Mashu and Kimura Tatsunari ♥ Yoroshiku ♥ and welcome to my (weird) blog (ノ゚▽゚)ノ

Sunday 24 April 2016

Hug


One Piece © Eiichiro Oda 

The Prince of Tennis © Konomi Takeshi 

Hug © Mari-chan 


Brak!!!

Suara pintu yang dibuka secara paksa membuat sekelompok remaja di ruang tamu rumah Mari menoleh. Tiga pasang mata berbeda warna menatap sosok pemuda berambut pirang yang baru saja membuka pintu dengan kasar itu.

"Sabo-nii?" Mari menggumam lirih memperhatikan sang kakak yang tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya tetap tenang meski dalam keadaan lelah itu tergantikan oleh raut wajah penuh emosi. Ia bahkan tidak mengucapkan 'Tadaima.' Pasti ada sesuatu yang terjadi?

Sabo yang sepertinya sedikit kaget karena kehadiran teman-teman Mari hanya bisa menatap satu persatu remaja yang ada di ruang tamunya itu, meski dengan tatapan kosong. Semenit kemudian, pemuda dua puluh tahun itu berjalan cepat meninggalkan Mari dan teman-temannya, menuju kamarnya di lantai dua. Tanpa mengatakan apapun.

"Mari? Ada apa dengan kakakmu?" tanya Momoshiro, mata ungunya masih mengarah ke tempat menghilangnya Sabo, pemuda jabrik itu terlihat heran dengan sikap Sabo barusan

"Sabo-san sepertinya ada masalah," tambah pemuda tujuh belas tahun itu.

"Entahlah, aku juga tidak tahu," balas sang tuan rumah. Ia khawatir kepada kakaknya dan ingin segera tahu apa yang terjadi, tapi ia jelas tidak bisa meninggalkan Kaoru dan Momo begitu saja. Apalagi mereka sedang belajar.



Belum sempat ia mengutarakan niatnya, suara sang sahabat lebih dahulu terdengar mengalun, "Jika kau mengkhawatirkan Sabo-san, lebih baik segera kau temui dia. Belajarnya kita lanjutkan besok lagi."

Mari berkedip dua kali memperhatikan Kaidou yang menatapnya dengan tatapan kenapa-kau-malah-bengong-baka!

"Kenapa malah menatapku seperti itu, heh!" bentak Kaidou.

Mulut Mari terbuka dan menutup seperti ikan koi saat memikirkan ucapan sahabat dari kecilnya itu. Ugh.

"Woah, apa ini, Mamushi ternyata bisa bijak juga, ya, hahaha."

Dan jotosan maut dari Kaidou sukses mengenai wajah sok tidak bersalah dari Momoshiro.

"Kalian ada-ada saja, hahaha."


Hug 


Tok tok tok!

"...."

Tak ada suara yang menyahut meski sudah berkali-kali Mari mengetuk pintu kamar Sabo. Apa Sabo-nii sudah tidur?

Acara belajar bersama antara Mari dan duo yang ia juluki Rival Pair itu sudah selesai beberapa jam yang lalu, dan sejak kepulangan Sabo, pemuda itu belum terlihat keluar dari kamarnya. Padahal Mari memasak makanan kesukaannya, biasanya jika kakaknya itu mencium aroma sup buatan Mari, dia akan langsung keluar kamar meski sedang mengerjakan tugas kuliah. Lalu? Kenapa sekarang tidak? Benar-benar sudah tidur ya?

Mari menggelengkan kepalanya. Bodoh! Kau mikir apa sih! Sabo-nii pasti sedang dalam masalah. Bukankah kau sudah bertekad akan mencari tahu ada apa dengannya? Lupakan pikiran bodohmu yang mengatakan dia sudah tidur. Karena itu tidak mungkin!

Untuk sejenak saja, Mari berharap otaknya sedikit lebih jenius dari biasanya.

"Sabo-nii? Ayo makan..." Suara Mari terdengar ragu-ragu saat ia kembali mengetuk pintu berwarna coklat di depannya. Kenapa juga kakaknya itu keras kepala sekali. Apa salahnya sih mengatakan pada Mari apa yang terjadi?

Kalau ada masalah seharusnya jangan disimpan sendiri. Bukankah masih ada Mari? Marco-jichan juga ada. Ya, kecuali masalah kuliah sih, kalau itu Mari mana paham, dia saja baru kelas dua SMA. Ugh, untuk saat ini, Mari benar-benar berharap Marco-jichan tidak lembur dan bisa membantunya menyeret sang kakak keluar kamar.

Menyeret bukan dalam artian sebenarnya, sih, Marco-jichan mana pernah menyeret seseorang? Tapi, Marco-jichan selalu sukses membawa Sabo-nii keluar kamar hanya dengan ucapannya. Ugh, kenapa sekarang malah memikirkan hal itu sih?

"Kau makan duluan saja, Mari, aku mau istirahat."

Hati Mari sedikit mencelos mendengar ucapan tanpa semangat dari sang kakak yang masih mengurung diri di dalam kamar. Ia sudah merasa tidak karuan saat melihat kakaknya pulang tadi siang dengan raut wajah yang seperti itu, dan mendengar suara Sabo yang terdengar tidak ada semangat sama sekali itu membuat dirinya semakin khawatir. Ia mungkin tidak bisa menyelesaikan masalah Sabo, tapi siapa tahu Mari bisa menghiburnya 'kan?

"Sabo-nii, ada apa sih, jangan membuatku khawatir... cepat buka pintunya..." ujar Mari lagi, ia semakin kencang menggedor pintu kamar Sabo. Masa bodoh sang kakak akan marah, ia tidak tenang sebelum bertemu kakaknya. Mungkin Sabo tidak bisa mengatakan seluruh masalahnya pada Mari, tapi paling tidak ia bisa berbagi kepada Mari 'kan? Ugh...

"Sabo-nii!"

Hening.

Meski Mari sudah mengetuk pintu kamar berkali-kali, Sabo tetap saja tidak mau membuka pintunya. Jangankan membuka pintu, menjawab ucapan-ucapan Mari saja tidak...

Gadis tujuh belas tahun ini akhirnya berhenti melakukan hal sia-sia seperti berteriak dan semacamnya, ia melipat kedua tangannya di depan dada dan menghembuskan napas kesal, "Baiklah, kalau Sabo-nii tidak mau keluar, Mari juga akan tetap di sini sampai Marco-jichan pulang dari kantor!"


Hug 


Sabo mengacak rambut pirangnya setelah mendengar ucapan Mari dari luar kamar. Adiknya itu benar-benar keras kepala level dewa. Bagaimana kalau Marco-san pulang dan melihat Mari di luar kamarnya?

Bisa-bisa ia kena marah Marco-san. 

"Hhhhhhh," dengan langkah gontai, Sabo berjalan menuju pintu kamarnya, katakan apa saja lah yang bisa membuat Mari menyerah.

Ia membuka pintunya perlahan dan hal pertama yang menyambutnya adalah tubrukan maut sang adik. Iya, Mari memeluknya dengan sangat erat sampai langkahnya sedikit terdorong ke belakang.

"M-Mari?"

"Mari memang tidak akan bisa membantu tugas-tugas kuliah Sabo-nii, Mari bahkan tidak mengerti bagaimana membuat tugasnya. Mari mungkin juga tidak akan bisa membantu Sabo-nii untuk dekat dengan gadis yang Sabo-nii sukai... tapi, kalau ada masalah, jangan pernah memendamnya sendiri, bukankah masih ada Mari di sini, dan Mari tidak tenang melihat Sabo-nii yang seperti ini. Mari khawatir."

Kedua bola mata hitam Sabo melebar mendengar ucapan adik perempuannya yang masih memeluknya dengan sangat erat itu. Mari sangat mengkhawatirkannya sampai seperti ini. Sabo, kau bodoh.

Senyum mulai mengembang dari bibir Sabo seiring dengan perasaan hangat yang mengaliri dadanya. Ia melingkarkan kedua tangannya ke tubuh kecil Mari dan balas memeluknya dengan erat.

Bodoh sekali dirinya. Ia sudah memperlihatkan hal yang seharusnya tidak pernah dilihat oleh Mari, yaitu emosinya. Ia memang sedikit emosi saat melihat─ya, lupakan apa yang terjadi tadi di kampus─ia juga tidak bermaksud memperlihatkan emosinya di hadapan Mari. Makanya, ia sedikit kaget saat ia pulang dan melihat Mari dan teman-temannya malah ada di rumahnya.

Ia juga bermaksud menyendiri di kamar sampai Mari lupa kejadian tadi siang, tapi nyatanya? Mari malah tidak lupa sama sekali dan bersikeras ingin mengetahui apa yang terjadi pada Sabo. Adiknya ini memang sesuatu sekali. Jika sudah bertekad, tak ada yang bisa menghentikannya.

"Sudah, Sabo-nii baik-baik saja, kok," ucap Sabo lirih, ia mengusap kepala Mari dan melepaskan pelukan maut adiknya itu. Pemuda ini tertawa geli melihat raut wajah Mari yang masih manyun, "Arigatou, Mari," lanjutnya lagi, ia mendaratkan sebuah ciuman di kening sang adik dan kembali memeluknya.

"Lalu, masalah Sabo-nii?"

"Ba-ka! Aku bahkan sudah lupa apa masalahku," ucapnya. Bohong tentu saja. "Maaf sudah membuatmu khawatir," Sabo mengedipkan sebelah matanya dan kembali mengacak rambut hitam Mari.

"Ah, aku lapar, kau masak sup kah?"


Hug 


Hal pertama yang Mari lihat saat memasuki ruangan Law adalah, dokter bedah itu tengah menatap jendela dengan tatapan kosong. Bukan hal yang wajar, karena biasanya, Law akan mengeluarkan seringainya jika Mari masuk ke ruangannya.

"Traffy? Ada apa?" dengan langkah pelan, Mari berjalan mendekati tempat duduk sang dokter dan memegang lengannya dengan lembut.

"..."

Tapi Law belum juga meresponnya. Pemuda itu seolah tidak menyadari kehadiran Mari.

"Traffy?"

Seakan tersadar dari lamunan yang panjang, mata gelap Law melebar saat ia melihat Mari di sampingnya meski sedetik kemudian ia bisa menguasai dirinya kembali, "Mari, sejak kapan kau datang?" tanyanya.

"Traffy, ada apa?" bukannya menjawab pertanyaan Law, Mari malah balik bertanya, gadis bertubuh kecil ini memposisikan dirinya duduk di sebelah sang dokter. Mata hitamnya masih menatap mata gelap Law.

"Apa maksudmu ada apa?" balas Law, dokter muda itu juga mengalihkan pandangan dari Mari.

Sebelah alis Mari terangkat, pertanda bahwa dia heran. Jarang sekali─atau bahkan tidak pernah sama sekali─Law memutuskan kontak mata dengan Mari. Yang ada malah sebaliknya, Mari lah yang sering mengalihkan pandangan darinya jika Law sudah menatapnya. Tapi sekarang? Menatap Mari pun tidak.

Hanya ada satu penjelasan dari sikap Law ini. Dia... pasti menyembunyikan sesuatu dan hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.

Tangan kecil Mari meraih kedua pipi Law, memaksanya untuk kembali menghadapnya.

"Ma─Mari, apa yang kau lakukan?"

Mari mengabaikan nada bicara Law yang tergagap karena eerr─shock mungkin? Ia tidak peduli. Gadis ini tetap melanjutkan acara menatap Law untuk mencari tahu apa yang terjadi...

5 menit berlalu, tapi Mari sama sekali tak bisa menemukan hal yang disembunyikan oleh Law. Atau ini karena Mari yang terlalu bodoh dan tidak paham arti tatapan mata seseorang? Ugh!

Dan lagi... kenapa sekarang Mari malah merasa kalau kedua pipinya memanas sih?

Sial. Ia baru sadar kalau posisi mereka benar-benar awkward. Kedua tangan Mari masih menempel di pipi Law, dan demi apa pun, mereka berada sangat dekat. Apalagi sekarang Law malah balas menatapnya dengan intens.

Ini. Tidak bagus.

Ternyata berada dekat dengan Law memang tidak sehat untuknya. Ugh. Buru-buru ia melepaskan kedua tangannya dan menjauh dari Law.

Dan sekarang Mari tidak tahu harus bagaimana. Jantungnya berdetak sangat cepat, terutama saat matanya bertemu pandang dengan mata Law yang masih menatapnya. Hih, tidak bagus!!

"Su-sudah ya, ha-hari ini aku cuma mampir untuk me-menyapamu, kok, hehe... jaa─" Mari segera mengambil langkah seribu sebelum ia melakukan hal-hal aneh lagi seperti tadi. Haih, mengingatnya saja sudah membuat kepala Mari hampir meledak saking malunya. Gadis berhelai hitam panjang ini berjalan cepat menuju pintu dengan wajah merah.

Tapi, niat Mari untuk kabur dari ruangan Law ternyata tidak berjalan mulus. Seseorang dengan cepat memblokir pintu keluar, seseorang yang tak lain adalah orang yang sama yang telah sukses membuat Mari mati kutu hari ini. Kami-sama, ini benar-benar tidak bagus.

"Bisakah, kau tinggal sebentar, Mari? Aku... butuh seseorang di sampingku sekarang."

Dan saat sepasang tangan kekar membawanya ke dalam pelukan erat, Mari merasa dunianya benar-benar berhenti berputar untuk waktu yang tidak bisa ia pastikan.


Hug 


"Marco-jiiiiiiiiiichaaaaaaaaaan," Mari berteriak lantang begitu ia memasuki kantor Marco. Langkahnya terasa sangat ringan meskipun dia baru pulang sekolah, tak ada gurat kelelahan yang terlihat dari wajahnya.

"Sssssst, jangan berteriak seperti itu, Mari-chan... Marco-san sedang ada meeting dengan klien, Mari-chan tidak boleh mengganggunya," seorang wanita cantik dengan surai ungu pucat dengan cepat mencegah Mari memasuki ruangan pribadi Marco.

Mari menggembungkan pipinya kesal menatap sekretaris dari Ojisan-nya. Wanita ini pasti tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Mari dan Marco sehingga mencegah Mari begini.

Sudah lebih dari seminggu Marco selalu sibuk di kantor. Pergi pagi-pagi buta, bahkan tidak pernah ikut sarapan bersamanya dan Sabo. Dan selalu pulang larut malam, jelas saja Mari sudah tertidur saat Marco pulang.

"Mou, Whitey-san..."

Suara tawa Whitey Bay mengalun lembut, membuat Mari mengangkat sebelah alisnya. Ugh, apanya yang lucu.

"Kenapa Whitey-san tertawa?" Mari masih manyun.

"Hei, jangan cemberut begitu... kalau Mari-chan masuk ke sana dan meeting gagal, kira-kira Marco-san akan seperti apa? Kita tunggu saja... ah, maksudku, Mari-chan tunggu saja di sini, sebentar lagi meeting-nya selesai, kok, jangan manyun begitu... mana Mari-chan yang biasanya selalu ceria," Wanita pintar itu tersenyum dan menepuk kepala Mari dengan lembut.

Menghembuskan napas pasrah, Mari pun akhirnya menuruti kata sang sekretaris, ia berusaha duduk tenang di meja kerja Whitey dan mulai bermain dengan ponselnya.


Hug 


Sebentar.

Sebentar.

Itu yang dikatakan oleh Whitey Bay yang tak lain adalah sekretaris dari Marco. Tapi.... dua jam itu apa bisa dikatakan sebentar????? Ponsel Mari bahkan sudah meninggal dengan indahnya karena kehabisan baterai tiga puluh menit yang lalu dan sekarang ponsel peraknya tengah makan dengan tenang di meja kerja Whitey. Sementara orang yang ditunggunya masih saja belum keluar dari ruangannya.

"Aku bosaaaaan!" teriaknya tidak sabar. Whitey sedang keluar untuk mengurus dokumen yang─dijelaskan seperti apapun, tetap saja─tidak Mari pahami dan meninggalkan Mari sendirian.

Whitey sudah menyarankan Mari untuk bermain dengan komputernya jika ia bosan, tapi tetap saja, kebosanan Mari tidak bisa disembuhkan hanya dengan game di komputer. Apalagi game-game di komputer Whitey sama sekali tidak ada yang menarik.

"Hhhhhh, Marco-jichan sedang apa, sih, kenapa lama sekali... apa yang mereka bicarakan sebenarnya," gumamnya. Ia menempelkan kepalanya ke meja dengan posisi menghadap ke ruangan Marco yang sejak dua jam lalu masih tertutup rapat seolah ruangan itu kosong. Padahal ada Marco di dalam. Untuk saat ini ia benar-benar berharap memiliki kekuatan pengelihatan yang bisa menembus tembok seperti di manga-manga yang sering ia baca, hanya untuk melihat Marco di dalam.

Oke, ia ngelantur.

Dan ia juga mulai mengantuk. Menunggu bukanlah hal yang menyenangkan. Seharusnya Mari tahu itu. Tapi ia bersedia menunggu demi bertemu Ojisan-nya.

Dan apa yang terjadi sekarang?

Ini benar-benar tidak sesuai dengan rencananya. Ia ke sini untuk mengajak Marco jalan-jalan. Ah, atau lebih tepatnya sih, itu cuma alasan Mari untuk bertemu Marco. Ya, seperti katanya di awal, sudah lebih dari seminggu Marco selalu sibuk dengan urusan kantor. Mari hanya ingin menghabiskan waktu dengannya meski cuma sebentar, kalau bisa sih, Mari juga ingin mengajak Marco ke toko buku langganannya karena manga kesayangannya sudah terbit dan ia belum sempat membelinya.

Dasar lintah darat.

Tapi... di atas semua itu, Mari ingin melihat keadaan Marco. Pria itu sudah terlalu memaksakan dirinya dengan urusan kantor. Sampai ia tidak pulang ke rumah. Pulang memang, tapi tetap saja kepulangannya itu setelah Mari tidur, anggap saja Marco tidak pulang.

Paling tidak─menurut Mari, dengan adanya Mari bisa sedikit menghiburnya agar tidak stres dengan urusan pekerjaan. Semoga saja kedatangan Mari benar-benar membuatnya rileks, bukannya menambah stres.

Duh, kenapa jadi begini?

Ah, bodoh ah.

Mari mengacak rambutnya karena frustrasi. Ia berkedip sekali dan kembali menatap pintu ruangan Marco. Sepertinya, Marco-jichan benar-benar sibuk. Ia bahkan masih tidak bisa bertemu dengan Marco setelah datang ke kantornya. Huh!

"Pasti Marco-jichan bosan sekali di dalam, selama dua jam... atau lebih... berada di dalam, membicarakan hal yang membosankan dengan orang-orang yang disebut klien, yang pasti juga membosankan... ugh... kasihan Marco-jichan."


Hug 


"Nnngggg," Mari memegang kepalanya yang terasa sangat pusing, ia tidak merasa pusing tadi? Lalu kenapa sekarang sakit kepalanya datang?

Sayup-sayup, gadis ini mendengar suara dua orang tengah berbincang santai.

Suara itu? Marco-jichan kah? Dengan siapa dia berbicara? Lalu, kenapa dia merasa pusing begini? Apa ia ketiduran di ruangan Whitey Bay? Lalu, kalau ia ada di ruangan Whitey, kenapa dia bisa mendengar suara Marco? 

Dengan susah payah, akhirnya Mari bisa mengumpulkan kesadarannya, ia masih memegang kepalanya seraya mencoba membuka paksa matanya. Dan hal pertama yang sukses menarik perhatiannya adalah─lampu ruangan yang terlihat sedikit familiar.

"Are?" ia menggumam pelan dan mencoba duduk untuk melihat sekeliling. Ruangan ini 'kan? Mata hitamnya melihat sekeliling, ada meja besar di sampingnya, dan sebuah laptop yang masih menyala, ia sendiri berada di atas sofa yang nyaman.

Eh? Tunggu dulu, ruangan ini 'kan?

"Mari, kau sudah bangun?"

"Marco-jichan," suara Mari terdengar lirih seolah ia tidak percaya akan apa yang ia lihat. Ia berkedip dan mengucek mata untuk memfokuskan pandangan, tapi tetap saja bayangan Marco masih di sana, jadi... ia tidak bermimpi?

"Marco-jiiichaaaaaaaan," tanpa memperdulikan apa pun lagi, Mari segera berlari ke arah Marco dan memeluk pria itu dengan erat. Mari benar-benar merindukan 'ayah' nya ini. Bukannya ia tidak senang dengan Sabo di rumah, tapi tetap saja rasanya beda saat tidak ada Marco.

"Woah, Mari... kau membuatku kaget," sayup-sayup Mari mendengar suara tawa dari Marco, suara yang sangat ia rindukan. Gadis ini mencengkeram erat jas hitam yang dikenakan oleh Marco dan menenggelamkan wajahnya ke dada bidang sang Ojisan. Senyumnya mulai mengembang saat tangan Marco mengusap kepalanya penuh sayang.

"Sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat, Marco?"

Dan suara berat dari seorang lainnya yang sempat Mari dengar saat masih setengah bangun tadi berhasil membawanya kembali ke kenyataan. Gadis ini melepaskan diri dari Marco dan menatap seorang pria yang ia tebak sudah dari tadi duduk di sampingnya dengan tatapan tajam.

Pria di depannya ini terlihat tidak asing. Rambut coklat dengan model aneh itu yang membuatnya ingat. Belum lagi pakaiannya yang seperti seorang chef.

Iya, Mari pernah melihatnya. Pria ini sering ia lihat saat ia berkunjung ke Shirohige Mansion. Mungkin ia salah satu saudara dari ibunya dan Marco? Tahu sendiri, Shirohige-jii sangat senang mengadopsi anak. Tapi masalahnya sekarang ini Mari benar-benar tidak ingat siapa namanya. Oke, otaknya yang sangat susah mengingat akhirnya mengalahkan segalanya.

"Anda?"

"Yo! Mari-chan... kau sudah besar ya sekarang, kau semakin cantik~ sudah lama kau dan Sabo tidak berkunjung ke rumah Oyaji... Ne, Marco benar-benar melakukan tugas sebagai ayah dengan sangat baik dengan merubahmu menjadi gadis cantik begini," pria paruh baya itu meraih tangan kecil Mari yang masih mematung di pangkuan Marco.

Sebuah jitakan mendarat sempurna di kepala aneh orang yang tadi berbicara, membuatnya spontan melepaskan tangan Mari dan meringis kesakitan. Pria itu menatap tajam sang tersangka penjitakan yang tak lain adalah Marco, yang balas mendelik tajam ke arahnya.

"Kau mau apa, hah? Kau pikir aku akan membiarkanm melakukan hal-hal aneh pada Mari, yoi? Ingat, dia juga keponakanmu," ucap Marco seraya tersenyum.

"Hooo, kau benar-benar overprotektif pada Mari ya, Marco-jisan~" balas pria lainnya yang juga ikut tersenyum.

Sebenarnya apa yang terjadi di dalam kantor Ojisan-nya ini? Batin Mari sweatdrop


Hug 


"Dia adalah Thatch, kau lupa? Dia 'kan saudara Marco-jichan, Mari, dia memang sempat di luar negeri dalam waktu yang cukup lama, yoi."

Mari menatap laki-laki bernama Thatch di depannya dengan alis terangkat, dan beberapa saat kemudian ia memiringkan kepalanya, tanda bahwa dia sebenarnya sempat lupa padanya.

"Jangan bilang... kau lupa padaku, jahaaaaat! Hanya karena kita tidak bertemu untuk waktu yang cukup lama, kau melupakan aku dengan sangat mudah..."

Mari hanya menggaruk pipinya dan nyengir kaku ke arah Thatch yang tengah berteriak lebay. Iya, sekarang ia ingat... Thatch adalah salah satu saudara Marco. Sesuai kata Marco, Thatch sempat tinggal di luar negeri cukup lama, seingat Mari, Thatch dipercaya oleh Shirohige-jii untuk mengelola restoran keluarga di sana.

"Hehe..."

"Marco, apa yang sudah kau lakukan pada gadis kecil kesayangan kami semua ini, kenapa dia bisa melupakan pria keren dan tampan sepertiku dengan sangat mudah, aku sakit hati lho, Mari-chan," Thatch melipat kedua tangannya di depan dada dan membuat mimik wajah kecewa tapi sekali lagi Mari tidak peduli. Dan apa tadi katanya? Keren? Tampan?

Thatch ini mananya yang keren? Berani bertaruh jika teman sekelasnya; Perona bertemu dengannya, pasti Perona akan memaksa para maid dan Butler-nya untuk menjadikannya sebuah hiasan taman karena keantikannya.

Aih, lagi-lagi Mari malah gagal fokus dan memikirkan hal-hal aneh. Mari hampir lupa tujuan awalnya ke kantor Marco. Sekuat tenaga, gadis ceria ini berusaha mengabaikan Thatch dan kembali fokus ke Marco.

"Ne, Marco-jichaaan... urusan kantor sudah selesai 'kan? Kalau begitu ayo kita pulang... ah, sebelumnya bagaimana kalau kita mampir ke sebuah tempat, hehe."

"Lho? Kau mau langsung pulang? Bukankah kau bilang hari ini ada pertemuan kedua dengan klien di restoran Baratie, Marco?"

Eh?

Mari menatap Ojisan-nya dengan tatapan tidak mengerti. Bukankah tadi sudah ada pembicaraan dengan klien di kantor? Lalu, kenapa Thatch mengatakan ada pembicaraan kedua? Di restoran? Serius, sebenarnya apa yang ingin dibicarakan oleh Marco dan kliennya?

Marco memberikan deathglare kapada Thatch untuk membuatnya diam sebelum kemudian meraih pundak kecil Mari, "Maaf ya, Mari, bukannya Marco-jichan menolak ajakanmu untuk pulang, tapi sesuai kata paman Thatch, hari ini ada pembicaraan penting dengan rekan kerja Marco-jichan, ini soal perusahaan, Mari pasti mengerti 'kan?"

Thatch mendelik mendengar panggilan paman yang disematkan Marco padanya. Dia lebih senang dipanggil dengan suffix -san saja daripada Ojisan. Meski itu memang panggilan normal dari Mari untuknya. Hei, tapi drinya memangnya setua itu? Marco lebih tua darinya, sumpah deh.

Mari menundukkan kepalanya, menyembunyikan rasa kecewanya dari mata biru Marco. Tangannya mencengkeram erat seragam sekolah yang ia pakai, ia bahkan merasakan bibirnya bergetar karena ingin menangis. Ia jelas kecewa. Sangat. Lupakan manga kesukaannya. Ia hanya ingin bersama dengan Marco, untuk sebentar saja, tapi kenapa tetap tidak bisa...

"Marco-jichan akan menelepon Sabo-nii untuk menjemputmu," suara Marco yang biasanya terdengar menentramkan kini terasa menyesakkan. Marco bahkan meminta Sabo untuk menjemputnya dan bukannya mengantar Mari pulang sebentar lalu kembali lagi ke restoran apa tadi namanya.

Apakah acara dengan klien-nya lebih penting daripada Mari?

"Hei, jangan murung begini... Marco-jichan berjanji, hari minggu nanti kita jalan-jalan ke tempat yang Mari mau, Marco-jichan juga akan membelikan apapun yang Mari inginkan... bagaimana?"

Terserah. Mari sudah tidak peduli lagi. Mari benci Marco. Gadis tujuh belas tahun ini menangis dalam hati.


Hug


"Ada apa?"

Mari menggelengkan kepalanya saat Kaidou bertanya dengan nada khawatir.

"Kau terlihat tidak sehat, ada masalah?"

Lagi-lagi Mari tidak menjawab, ia melanjutkan acaranya sejak berangkat sekolah, melamun dan menatap luar kelas melalui jendela.

"Eh?" bola mata hitam Mari membulat saat merasakan seseorang memeluknya dengan erat, ia juga merasakan orang yang memeluknya itu mengusap punggungnya dengan lembut.

"Kaoru-chan?" gumamnya lirih begitu ia menyadari bahwa Kaidou lah yang tengah memeluknya.

"Aku hanya melakukan hal yang biasa dilakukan sahabatku jika sahabatnya sedang bersedih."

Dan ucapan sederhana dari Kaidou sukses membuat Mari tersenyum dan balas memeluknya, "arigatou, Kaoru-chan." 

"Oi, oi, kalian malah peluk-pelukan seperti itu."

Mari menatap Momo yang baru saja masuk ke kelasnya dan kali ini berjalan ke arahnya. Ia tertawa pelan mendengar ucapan pemuda itu. Ia melepaskan diri dari Kaidou dan beralih memeluk Momoshiro yang hanya bisa syok karena terjangan maut darinya, "kalian berdua memang yang terbaik... arigatou." 


......



"Jangan marah begitu, Marco-san 'kan sibuk... lagipula Marco-san punya tanggung jawab yang besar sebagai direktur di perusahaan, mengurus sebuah perusahaan besar itu tidak mudah, Mari... jangan tambahi masalahnya dengan tingkahmu yang kekanak-kanakan seperti ini."

"Tapi─"

"Bukankah masih ada aku? Apanya sih yang kurang dariku?"

Jelas saja kurang. Sabo-nii 'kan bukan Marco-jichan! Batin Mari menggerutu.

"Ya, aku juga kesepian sih karena Marco-san jarang di rumah, tapi bukankah dia sudah berjanji akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kita jika urusan dengan klien-kliennya sudah selesai?"

Dan Mari tidak bisa lagi mengeluarkan untaian kata untuk memprotes ucapan Sabo.

Mungkin Sabo benar, ia terlalu kekanak-kanakan. Tapi sejujurnya Mari juga memikirkan Marco... pria itu selalu sibuk dan tidak memikirkan kondisi tubuhnya. Mari hanya ingin Marco beristirahat sejenak... tidak terlalu memaksakan dirinya. Bagaimana kalau nantinya Marco sakit? Mari tidak mau itu terjadi...

Ternyata, meski dalam keadaan marah pada Marco, gadis ini tetap memikirkannya sampai seperti ini.

"Sudah jangan sedih," kata Sabo, ia memeluk adik perempuannya dengan lembut, "oh iya, kemarin aku lihat manga kesukaanmu di toko buku, bagaimana kalau kita ke sana?"

.......

"Apa ini?"

"Untukmu."

Mari memperhatikan barang pemberian Law dengan wajah heran. Ia beralih menatap Law seolah pemuda di depannya itu baru saja memberinya kodok mati untuk praktik biologi. Padahal kenyataannya, Law memberikannya es krim coklat kesukaan Mari.

"Kenapa?" Tanya sang gadis. Meskipun bertanya begitu, tetap saja Mari membuka bungkus es krimnya dan memakannya dengan senang hati.

"Ucapan terima kasih karena kau mau menemaniku di rumah sakit saat itu."

"...." Mari membuka mulutnya untuk bicara tapi ia mengurungkan niatnya dan kembali menyibukkan diri dengan es krimya. Perlahan ia merasakan wajahnya memanas. Ugh. Kenapa dia harus mengingatkan kejadian memalukan itu sih? Ugh!!! Dengan semangat, Mari kembali menjejalkan es krimnya ke dalam mulut. Oi, hati-hati nanti tersedak.

"Kau tahu, saat itu ada masalah yang terjadi dengan salah satu pasienku, aku merasa gagal sebagai dokter yang merawatnya... tapi saat melihatmu yang tetap penuh semangat meski kau juga sakit, aku akhirnya sadar ada hal yang penting selain pengobatan yang kuberikan untuknya. Tenang saja, sekarang pasienku baik-baik saja... arigatou."

Oh....

Oke...

Bolehkah Mari lompat dari atap cafe tempat ia makan es krim ini, saat ini juga? Karena demi apa pun Mari benar-benar merasakan seluruh darahnya mendidih dan sekujur tubuhnya terasa panas. Tinggal menunggu waktu saja sampai Mari akan meledak seperti balon yang kebanyakan gas.

"Eerrr─Traffy, ituu─"

"Kenapa? Wajahmu merah, tuh," Law berujar dengan tenang dan dari sudut matanya, Mari melihat seringai mengembang dari bibirnya.

Sial! Sial! Siaaaal!


Hug 


"Tadaimaaa."

"Okaerinasai."

Eh?

Mari memasang wajah bodoh saat menatap seseorang yang menjawab salamnya. Ia pikir yang ada di rumah adalah Sabo? Tapi ternyata?

"Kenapa diam saja di sana?"

Gadis kelas dua SMA ini menghembuskan napas dan berusaha untuk tidak bertatap muka dengan orang yang sudah membuatnya kesal sejak kemarin, ia berjalan cepat menuju lantai dua. Tidak mau terlibat obrolan dengan Marco.

"Hei, masih marah pada Marco-jichan?"

Ugh!

Langkah Mari terhenti saat Marco meraih tangannya dan memaksanya untuk menghadapnya. Kedua tangan pria akhir tiga puluhan itu memegang pundaknya dengan lembut.

Ingin sekali Mari membalas 'Pikir saja sendiri.' Tapi itu terdengar sangat kasar, dan Mari tidak pernah diajari hal sekasar itu oleh Marco. Akhirnya Mari hanya diam tanpa membalas ucapan pria di depannya.

"Oke... Marco-jichan minta maaf karena terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mengabaikan Mari."

"...."

"Marco-jichan benar-benar tidak bermaksud melakukannya, yoi... Marco-jichan sangat senang melihat Mari datang ke kantor, Jichan juga ingin bisa menghabiskan waktu dengan Mari. Tapi, Marco-jichan juga tidak bisa bersikap egois seperti itu, Marco-jichan punya tanggung jawab besar kepada perusahaan. Coba bayangkan kalau terjadi sesuatu pada perusahaan yang dipercayakan oleh Shirohige-jii kepada Marco-jichan itu? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Lalu, bagaimana juga dengan ratusan karyawannya? Mari pasti mengerti 'kan?"

Mari terdiam mendengar penjelasan panjang lebar dari Marco tentang tanggung jawabnya yang sangat besar di perusahaan. Dan melihat kesungguhan yang terpancar dari mata biru pria pirang di depannya benar-benar membuat Mari ingin menangis.

Betapa egoisnya dia. Hanya karena keinginan pribadinya, ia hampir saja membuat Marco mendapat masalah. Dan parahnya, mengorbankan karyawan-karyawan di perusahan kakeknya yang sekarang dijalankan oleh Marco.

Tapi beruntungnya, Marco sangat paham bagaimana sikap Mari yang kadang kekanak-kanakan dan egois. Mungkin karena Marco sangat mengerti akan terjadi hal seperti ini juga, makanya ia lebih memilih menemui klien-nya daripada mengantar Mari pulang saat itu.

Karena kemarahan Mari selalu bisa ia atasi dengan mudahnya, ya lihat saja sekarang, mendengar alasan Marco saja sudah membuat gadis ini luluh, sedangkan klien-nya? Belum tentu Marco bisa mengatasinya jika klien-nya mengalami kekecewaan. Lalu, dampaknya adalah perusahaan mereka yang bisa saja mengalami penuruan dalam urusan proyek atau apapun lah, Mari tidak paham.

"Gomen, Marco-jichan," ucap Mari pada akhirnya, ia memeluk Marco dan mulai menangis.

"Hai, hai... sudah, sudah... jangan menangis... mana Mari yang biasanya ceria, yoi?" Marco mengacak helaian hitam ponakan perempuannya itu.

"Arigatou, Marco-jichan."

"Oi, mau sampai kapan kalian seperti itu.... jika kalian tidak membantuku sekarang, malam ini kita tidak akan makan!"

Mari dan Marco terdiam sejenak sebelum kemudian serentak tertawa mendengar teriakan Sabo dari arah dapur. Keduanya segera menuju dapur sebelum Sabo benar-benar menghancurkan tempat itu.

"Aaaaaaahh... Marco-saaaan... lobsternya masih hiduuup!"

"Sabo-kun, apa yang kau lakukan..."

"Aku hanya ingin memotong lobsternya, tapi lihat, lobsternya bergeraaaaak!"

"Oi, bukan seperti itu caranya, Sabo-kun."

"Lalu bagaimana?"

"Entahlah─hei, jangan dekatkan lobsternya ke sini! Menggelikan!"

Mari tidak bisa menghentikan tawanya melihat dua manusia pirang yang masih berdebat masalah lobster itu, ia tahu kalau Marco sangat anti dengan ikan-ikanan yang masih hidup, Marco sedikit tidak nyaman dengan mata-mata ikan yang membuatnya mengalami mimpi buruk.

Sabo juga tidak beda jauh, meski Sabo lebih menerima ikan daripada Marco. Tapi tetap saja jika urusan memasak, Sabo benar-benar tidak bisa diharapkan.

Lalu? Kenapa dua orang itu malah ingin memasak lobster? Satu-satunya orang yang suka segala jenis ikan adalah Mari, termasuk lobster, Mari sangat suka lobster.

Jangan-jangan... mereka mau memasak seafood untuk Mari? Ya, sebagai permintaan maaf dari Marco mungkin? Aw, manis sekali meski itu menyiksa mereka berdua. Hahaha

"Ne, minna-san, bagaimana kalau kita makan di luar, jangan memaksakan diri dengan lobster, hari ini Mari ingin makan ikan bakar~"

"Setuju!" Sabo dengan cepat merespon, ia segera meninggalkan dapur dan menuju lantai dua. Lebih tepatnya meninggalkan sang lobster yang masih berada di meja dapur.

"Ah, sepertinya itu ide yang bagus, Marco-jichan ganti baju dulu, yoi, biarkan saja lobsternya di sana." 

"Hai!" 

Sepertinya makan malam di luar adalah solusi terbaik untuk keluarga kecil ini. Karena, Sabo benar-benar tidak bisa diharapkan untuk masalah dapur. Dan Marco sedari tadi sudah pucat mengurusi lobster hidup. Kasihan sekali mereka berdua.

"Terlalu memaksakan diri, dasar Marco-jichan dan Sabo-nii... ada-ada saja mereka berdua."



The End 


Ayayayayayai~ (ini Mari edit dikit, lol)

Fict kedua Mari tentang keluarganyaaaa.... kali ini judulnya eerr─hahahaha... judulnya nyambung kan? Nyambung dong? Ya kan? Ya dong? #woi

Sebuah pelukan ternyata begitu berefek dalam kehidupan Mari ya, uhuk!

Dan di sini kelihatannya lebih rame karena ada 2 sahabatnya Mari itu muncul lagi setelah sekian lama... uhuhuhu... saya kangen nulis tentang mereka :"D

Ada 'paman' Thatch juga... yohoho... kapan-kapan masukin Izo ah, sebagai tante rempong /BUKAN

Law tetep masuk lah, kan hasubando~ /////

Sabo 
ABANG!!!!!!! KYAAAAAAAAAA /tubruk

Karena dari kemarin posting pictnya Traffy dan Om Marco mulu, jadinya sekarang posting pictnya Bang Sabo~ uuugghh... bang, kamu kok cakep sih #heh

Ugh... My beloved Brother~ 
Ekspresi bang Sabo yang ini epic XD

Dari senyum ke serius begitu, ahahahaha

Aihyaaa~ 
Pelis, efek bunga bertebarannya why gak nyante banget, wkwkwkwk /toel pipi Bang Sabo XD

Yay! Sudah selesaaaai... makasih buat yang sudah menyempatkan diri membaca fict buatan Mari... /meski gak yakin ada yang baca atau enggak lol

Sampai jumpa di postingan selanjutnyaaaa~ cao... 

No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger

Translate

Awesome Inc. theme. Powered by Blogger.