(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~) Hello, Mari-chan is here ★★★ A cheerful, sweet, innocent and light idiot girl who loves Trafalgar Law more than anyone ♡♡♡ Trafalgar Law's Wife ♡ Fushichou Marco's Niece ★★ Sabo & Echizen Ryoga's Sister★ ★ Whitebeard Pirates & Heart Pirates ★★ Kaidou Kaoru and Momoshiro Takeshi's Bestfriend ★★ One Piece ── One Piece Live Attraction ★ Prince of Tennis ★ Hunter X Hunter ★ Death Note ★ MarcoAce is Life. MarcoAce is Love ♥ Sweet Combi ♥ Rival Pair ♥ Seigaku ★ Extremely biased towards Ishiwatari Mashu and Kimura Tatsunari ♥ Yoroshiku ♥ and welcome to my (weird) blog (ノ゚▽゚)ノ

Wednesday 4 May 2016

Heavy Rain

Suara gemuruh hujan beserta petir masih menjadi pendamping sesosok gadis yang masih berkutat dengan tugas sekolahnya. Manik hitamnya bergerak resah. Tugasnya harus selesai besok tapi dirinya sama sekali tidak bisa konsentrasi.

Salahkan saja petir di luar sana.

Kilatan cahaya terlampau terang memaksa kepala berhelai hitamnya menoleh, meninggalkan buku bersampul tebal di meja dan menatap horor jendela kamarnya.

"Ugh," ia bergegas membawa kedua tangannya ke telinga, menekannya kuat dan menutup matanya rapat. Suara petir yang lumayan keras membuat detak jantungnya menggila seketika.

Tak berselang lama, suara benturan benda keras terdengar dari ruangan sang gadis bersurai hitam panjang, kursi yang ia duduki menghantam lantai saat sosok yang dari tadi duduk di sana melompat dan berlari keluar kamar.

"Sabo-niiiiiiiiiiiii."




∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩

One Piece © Eiichiro Oda 

Heavy Rain © Mari-chan 

∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩ 


Mari tidak membenci hujan, juga tidak membenci petir. Tapi entah kenapa ia merasa tidak nyaman dengan cuaca seperti ini. Ia sedikit─takut.

Mata hitamnya masih tertutup rapat, kedua tangannya mencengkeram kain halus yang menempel pada tubuh kakaknya, menenggelamkan wajahnya ke dada kakak satu-satunya.

Setelah keluar kamar, gadis ini berlari sekuat tenaga menuju kamar sang kakak, dan tanpa basa-basi, ia menubruk kakaknya yang tengah membaca buku dengan tenang di tempat tidur.

"Uh-uh, Sabo-nii," sebuah isakan mengalun lirih, kedua tangannya masih belum terlepas dari tubuh sang kakak. Tubuh kecilnya sendiri gemetaran efek dari suara keras petir yang tadi.

Masa bodoh tugasnya belum selesai, petir yang menggelegar di luar membuatnya benar-benar kalut, ia masih tahan jika hanya hujan yang mengguyur, tapi jika petir menyertai, Mari benar-benar menyerah. Ia tidak kuat dengan suaranya yang membuat jantungnya berdegup kencang. Belum lagi perasaan aneh yang selalu ia rasakan setiap cuaca seperti ini terjadi.

"Shhh," usapan lembut yang ia rasakan sedikit membuat gemetar tubuhnya mereda, cengkeraman tangannya perlahan melonggar sampai akhirnya rasa takutnya sirna.

Hening menyelimuti kamar bernuansa krem milik Sabo. Kedua remaja yang duduk di atas tempat tidur berukuran besar di dalam ruangan masih belum melempar kata.

Petir juga masih terdengar dari luar kamar meski tidak sekeras petir yang membuat Mari kabur dari kamarnya. Rintik hujan masih ramai berjatuhan.

"Sabo-nii," ucap Mari lirih, suaranya terdengar sendu, kedua tangannya masih melingkari tubuh kakaknya, "Aku─" dan tak ada lanjutan dari kalimatnya.

Sabo tak merespon, begitu pun Mari yang masih enggan berucap, mereka berdua kembali terdiam dalam pekatnya malam.


∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩ 


Sabo sangat paham kenapa adiknya bersikap seperti ini, karena kejadian seperti ini tidak hanya sekali dua kali ia alami. Melainkan berkali-kali.

Petir selalu membuat imouto-nya gemetar ketakutan, tapi gadis itu tidak pernah mengucapkannya terang-terangan jika ia takut.

Mari hanya akan berlari ke arahnya─atau Marco atau malah Law─memeluknya erat dengan tubuh bergetar dan tangis yang tak terdengar. Saat itulah Sabo merasa adiknya terlihat sangat rapuh.

Selama ini Mari selalu terlihat ceria, gadis yang selalu ingin terlihat kuat di mata orang-orang sekitarnya. Meski itu gagal. Bagaimana mau dibilang kuat jika melihat ulat saja ia akan lari ke arah Marco sambil menangis.

Tapi, senyum yang mengembang dari bibirnya memang ajaib, senyuman Mari bisa menjadi obat yang ampuh untuk mengusir rasa kesal dan marah pada diri Sabo. Dan ia seratus persen yakin, efek senyuman Mari pada Marco dan Law juga pasti sama dengan yang ia alami.

Jika boleh jujur, Sabo juga merasakan hal yang sama dengan Mari saat hujan deras dan petir seperti ini. Pikirannya otomatis kembali mengingat kejadian itu...

Lima belas tahun yang lalu, bagaimana mungkin Sabo melupakan kejadian paling mengerikan dalam hidupnya?

Hari itu... yang harusnya menjadi hari bahagia bagi keluarganya, berubah menjadi hari paling memilukan.

Ia yang saat itu berusia lima tahun dan Mari yang masih berusia dua tahun, bersama kedua orang tua mereka. Berniat pergi berlibur ke tempat sang kakek, Edward Newgate a.k.a Shirohige.

Tapi, siapa yang menyangka, cuaca yang awalnya cerah tiba-tiba menjadi gelap, curah hujan sangat tinggi, ditambah petir yang tak henti-hentinya saling menyahut.

Dan puncaknya, mobil yang mereka tumpangi tergelincir di jalan. Cuaca saat itu sama persis dengan cuaca malam ini.

Sabo merasakan pelukan erat dari ayahnya saat mobilnya berguling, di kursi belakang ia juga melihat ibunya melakukan hal yang sama kepada Mari. Kedua orang tua mereka melindungi keduanya, tapi itu juga yang menyebabkan keduanya meninggalkan dunia ini, meninggalkan dirinya dan Mari.

Ugh. 

Dada Sabo sedikit nyeri mengingat kejadian yang sudah berlangsung lama itu, kali ini ia yang memeluk Mari untuk menenangkan diri. Setelah sekian lama, ternyata dirinya tetap tidak bisa melupakannya.

Mungkin, ingatan Mari tidak mengingat kejadian itu, karena dirinya masih sangat kecil, tapi, tubuhnya pasti tidak akan lupa. Itulah kenapa setiap hujan dan petir Mari selalu bersikap seperti ini.

Sabo beruntung karena ia sudah bisa mengendalikan perasaannya, meski tak jarang ia merasa takut saat sedang sendirian di tengah hujan dan petir, tapi Mari berbeda... apa lagi ingatan Mari tentang peristiwa itu bukan dari ingatan pikiran tetapi ingatan tubuhnya. Ingatan tubuh tidak akan semudah itu melupakan hal yang pernah menimpanya.


∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩


Hujan deras masih setia mengguyur kota Tokyo, membuat aktivitas kota terasa sedikit lenggang. Sudah pasti mereka lebih memilih di dalam rumah dari pada hujan-hujanan.

Marco mempercepat laju mobilnya, sejak mendengar suara petir yang lumayan kencang beberapa menit yang lalu, pria ini sudah tidak fokus pada urusan pekerjaan. Karena yang ada di pikirannya adalah dua keponakannya di rumah.

Mungkin ia memang terlalu overprotektif jika sudah menyangkut mereka, Thatch juga mengatakan hal itu. Mereka sudah dewasa, tidak perlu setiap hari diperhatikan.

Mengingat ucapan Thatch membuat Marco mendengus pelan, mereka berdua memang sudah besar, tapi bagi Marco, mereka tetap anak-anaknya yang membutuhkannya. Masa bodoh dengan ucapan Thatch. Ia membatin. Yang paling paham tentang Sabo dan Mari adalah dirinya.

Akhir-akhir ini ia memang sibuk di kantor, tapi ia selalu pulang sebelum makan malam sehingga ia bisa berkumpul dengan Sabo dan Mari sebelum waktu istirahat mereka.

Tapi hari ini dirinya ada meeting yang lumayan penting, meski sudah mengabari Sabo dan Mari lewat ponsel mereka, tetap saja perasaannya tidak tenang. Selama ini Marco selalu bersama keduanya jika cuaca sedang buruk, tapi ia tidak menyangka akan terjebak di kantornya ketika cuaca seperti sekarang ini.

Marco sangat mengerti bagaimana dua keponakannya jika menghadapi cuaca seperti ini. Mungkin Sabo bisa menenangkan Mari, tapi bagaimana dengan Sabo sendiri? Meski Sabo selalu bersikap sok kuat jika di depan Mari, tapi sebenarnya dia tidaklah sekuat itu. Terutama jika ia mengingat kecelakaan yang ia alami bersama kedua orang tuanya yang terjadi bertahun-tahun lalu.

Senyum tipis Marco mengembang melihat bangunan rumahnya, rumah milik kakaknya yang sudah lima belas tahunan ia tempati bersama dua anak asuhnya. Sebenarnya sang ayah sudah memberikan rumah masing-masing untuk anak-anaknya yang berjumlah lebih dari sepuluh, tapi Marco belum mau menerimanya dan lebih memilih tinggal di rumah milik almarhum kakaknya.

Bangunan yang dihuni tiga orang itu memang tidak terlalu besar. Rumah itu tak jauh berbeda dengan rumah para tetangga yang ada di sebelah mereka. Bangunannya sendiri terdiri dari dua lantai dengan halaman yang cukup luas termasuk garasi. Kakaknya adalah tipikal seorang ibu yang lebih senang melihat tumbuh kembang anak-anaknya di rumah mereka dari pada di luar. Itulah sebabnya kakaknya membuat halaman rumahnya lebih lebar dari pada halaman rumah pada umumnya.

Gerbang besi yang lumayan tinggi perlahan terbuka saat Marco menekan tombol open pada remot kecil yang selalu tersedia di dalam mobilnya. Mereka tidak mempekerjakan satpam atau penjaga gerbang, karena itu Marco berinisiatif menggunakan remot kontrol untuk membuka gerbangnya secara otomatis, terutama jika berada dalam kondisi seperti ini.

Setelah memarkirkan mobilnya ke dalam garasi, pria pirang ini bergegas memasuki rumahnya.


∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩ 


Marco yang baru saja memasuki rumah langsung menyeret kedua kakinya ke lantai dua, di mana kamar kedua keponakannya berada. Dan ruangan pertama yang ia datangi adalah milik keponakan perempuannya. Mari. Karena kamar gadis itu berada lebih dekat dengan tangga.

Mata biru Marco memicing memperhatikan kamar Mari. Gadis itu tidak ada di dalam kamar, pintu kamarnya pun terbuka lebar, bukan itu saja yang membuatnya kaget, meja belajar Mari terlihat berantakan, belum lagi kursi belajarnya yang tidak berada di tempatnya.

Ke mana Mari? Batinnya. "Mungkinkah dia bersama Sabo-kun?" gumamnya pelan. Dengan cepat Marco membenarkan kursi belajar sang gadis ke posisi semula sebelum kemudian menata buku-bukunya.

".... Pr-nya belum selesai," ucapnya seraya menghembuskan nafas pelan.

Setelah merapihkan kembali meja belajar Mari, Marco menuju tempat tidur sang gadis dan menutup gorden jendelanya. Semenit berlalu dan ia mulai beranjak dari kamar yang didominasi warna biru itu. Kaki-kaki panjangnya kembali melangkah, kali ini tak jauh dari kamar Mari. Yaitu kamar Sabo.


∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩ 


"..."

Tubuh Marco mematung melihat Sabo dan Mari. Kedua keponakannya itu sudah terlelap di atas tempat tidur. Tangan kanan Sabo menjadi bantal untuk kepala Mari dan tangan kirinya merangkul tubuh kecil adiknya.

Senyum lembut terukir di wajah Marco, ia mendekati tempat tidur dan membenarkan posisi tidur keduanya. Ia mengangkat tubuh Mari dan memindahkannya ke sisi kiri tempat tidur Sabo dan memindahkan Sabo ke sisi kanannya. Menaruh guling di tengah-tengah dan kemudian menyelimuti mereka berdua.

Mungkin malam ini Mari ingin tidur dengan kakaknya, dilihat dari kamar gadis itu yang masih berantakan dan pintu yang terbuka lebar, Mari pasti segera berlari ke tempat Sabo saat petir bersuara kencang itu terdengar.

Dan mengingat bagaimana Sabo jika cuaca seperti ini, sepertinya dia juga tidak mau ditinggal sendiri. Mungkin tidak ada salahnya membiarkan mereka seperti ini.

Lagipula...

Marco terkekeh pelan, entah kenapa ia merasa kembali ke masa lalu saat memperhatikan dua keponakannya seperti ini.

Meski awal-awal ia merasa sangat berat mengasuh anak usia lima dan dua tahun, tapi Marco menjalaninya dengan senang hati, melihat perkembangan Sabo dan Mari setiap hari adalah kebahagiaan tersendiri untuknya.


∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩ 


"Marco?" 

Manik biru Marco menatap lurus bola mata emas sang ayah. Sorot mata pria besar di depannya yang menyiratkan keraguan tak dihiraukan sedikit pun oleh Marco. Ia sudah membulatkan tekad. Meski seluruh dunia melarang, ia tidak peduli. 

"Oyaji," satu kata. Ia tidak perlu membeberkan alasan bertele-tele, ayahnya juga bukan orang yang senang mendengar ucapan panjang lebar dari anak-anaknya. 

Edward Newgate menghembuskan nafas, matanya bergulir, menatap dua cucu balitanya yang tertidur nyenyak di atas tempat tidur berukuran luar biasa besar miliknya, "...aku tidak mau membebanimu, Anakku, kita bisa menggunakan pengasuh profesional untuk mereka di sini, kau tidak perlu memaksakan dirimu tinggal di rumah kakakmu, biarkan mereka di sini bersama yang lain," katanya, terselip kekhawatiran dalam kalimatnya. 

"Mereka berdua tidak akan menjadi beban bagiku, Oyaji... dan aku tidak suka melihat mereka lebih dekat dengan pengasuh nantinya. Bukannya aku tidak setuju mereka tinggal di sini. Tapi mereka akan lebih nyaman di rumah mereka sendiri. Lagipula─" Marco memotong ucapannya, pandangannya beralih dari sang ayah ke arah tempat tidur. Perlahan ia melangkah pelan menuju ranjang berukuran ekstra besar di mana dua keponakannya masih terlelap dalam alam mimpi. 

Senyum getir nampak menghiasi wajahnya yang biasanya tenang saat mata birunya memperhatikan keduanya. Mereka kehilangan kedua orang tua mereka sebulan yang lalu... Keduanya juga mengalami luka yang lumayan dari kecelakaan itu. 

Bagian kiri wajah Sabo mengalami luka bakar yang cukup serius meski dokter keluarga mereka sudah melakukan pertolongan untuknya. Sang dokter mengatakan lukanya tidak akan terlalu parah tetapi luka bakarnya mungkin akan tetap membekas di bagian wajahnya. 

Sedangkan Mari? Gadis kecil itu tidak terkena luka fisik tetapi ada beberapa bagian dalam tubuhnya yang terluka cukup parah karena benturan keras yang ia terima. Meski sang dokter sudah melakukan semua yang ia bisa untuk menyembuhkan luka dalam dari Mari, tapi kenyataannya tak sesuai harapan, benturan yang dialami tubuh kecil Mari benar-benar keras, suatu keajaiban gadis kecil berusia dua tahun itu masih bisa selamat setelah mengalaminya. Dokter kepercayaan keluarga Shirohige itu juga mengatakan bahwa kesehatan Mari di masa depan akan sering terganggu karena hal ini. 

Mengetahui apa yang terjadi pada dua keponakan kesayangannya itu benar-benar menyiksa Marco, mereka sudah menderita seperti itu di usia yang masih sangat muda. Ia tahu keluarga besarnya juga khawatir akan keadaan Sabo dan Mari, tapi mungkin karena ibu dari mereka dan Marco adalah saudara kandung itulah yang mendorong Marco untuk mengasuh kedua keponakannya. 

"─Aku hanya ingin mendampingi mereka sampai mereka dewasa, Oyaji," ucapnya lirih, tangannya terulur, mengusap kepala pirang Sabo kecil dengan lembut dan beralih mengusap helaian hitam milik Mari. 

"Marco, kau sendiri belum cukup dewasa untuk ini, lagi pula kau dengar apa kata dokter tentang mereka berdua? Biarkan mereka tinggal di sini, kita tidak akan mengambil jasa pengasuh dan akan mengasuh mereka bersama-sama. Itu lebih baik dari pada kau sendiri. Dan aku tidak bisa membayangkan mereka tinggal di rumah itu, kenangan kedua orang tua mereka akan membuat mereka sedih, Marco." 

Kepala pirangnya menggeleng, ia bukannya tidak mengiyakan ucapan ayahnya, ia sadar bahwa dirinya belum dewasa untuk merawat dua balita. Tapi sekali lagi ia tegaskan, tekadnya sudah bulat untuk menjadi wali mereka. 

Saudara-saudarinya memang bisa membantunya merawat Sabo dan Mari, terutama Izou. Pemuda yang hobi crossdress itu sangat bisa diandalkan. Tapi─anggap saja Marco egois, terserah─tekad Marco untuk menjadi wali tunggal mereka tidak bisa dipatahkan lagi. 

"Oyaji," suara beratnya mengalun, tatapannya masih terfokus ke dua anak di depannya, "Itulah sebabnya aku ingin mengasuh mereka di rumah itu, aku tidak ingin mereka melupakan orang tua mereka, aku tidak ingin menjauhkan mereka dari kedua orang tuanya." 

"..." 

"Aku hanya ingin izin darimu, bagaimana pun aku adalah anakmu, Oyaji... Aku juga Ojisan dari mereka. Percayalah bahwa aku bisa mengasuh mereka dengan baik," Marco tersenyum saat kembali bertatap muka dengan pria yang sudah mengasuhnya dari kecil itu, "tenang saja, aku akan sering mengajak mereka ke sini untuk bertemu kalian, yoi," tutupnya.  



∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩∩(︶▽︶)∩ 


Usapan lembut di tangannya membawa Marco kembali ke kenyataan, Ia tersadar dari lamunan tentang masa lalunya. Ugh, sudah berapa lama ia termenung?

Kepalanya menoleh seiring dengan membulatnya manik biru cerahnya meski sedetik kemudian warna mata sebiru lautan itu kembali seperti semula. Senyumnya mengembang melihat siapa yang sukses mengganggu acara nostalgianya.

"Kenapa bangun?" tanyanya lembut. Ia bergeser sedikit dari posisi duduknya yang semula berada di tengah-tengah Sabo dan Mari, mata teduhnya menatap keponakan perempuannya yang kali ini mencengkeram lengan kemejanya.

"Ugh... anoo." 

Marco terkekeh pelan seraya mengusap kepala gadis kecilnya yang ternyata terbangun dari tidurnya, "ada apa, Mari?"

"...Marco-jichan, aku─"

"...ya?"

"─Aku memimpikan Shirohige-jii, Izou-san, Haruta-neechan dan lainnya... bahkan Thatch-ojichan juga... eeerr─bagaimana kalau kita berkunjung ke sana," Marco hanya bisa diam mendengar ucapan Mari, ia berkedip sekali sebelum kemudian tersenyum lembut melihat tatapan penuh harap dari Mari, "Ka-kalau Marco-jichan sibuk, Mari tidak akan memaksa, kok, Mari hanya─"

"─Ide bagus, yoi... akhir pekan nanti, kita bertiga akan pergi ke tempat Ojiisan, beliau pasti merindukan kalian. Ngomong soal Izou, dia juga sering marah-marah pada Marco-jichan yang katanya memonopoli kalian berdua, ahaha."

"Eh?"

Marco menepuk kepala Mari yang masih syok menatapnya. Mungkin dia kaget karena dirinya mengiyakan permintaannya dengan sangat mudah, "mereka pasti juga ingin bertemu Mari, makanya mereka muncul dalam mimpi... Marco-jichan yakin, pasti Sabo-nii juga memimpikan mereka, yoi."

"..."

Marco tak bisa lagi menahan tawanya saat melihat ekspresi blank dari ponakannya, mata hitamnya membulat dan mulut kecilnya terbuka seperti ikan koi, "Lho? Kenapa kaget begitu, Mari tidak mau pergi ke tempat Shirohige-jii?"

Mari menggelengkan kepalanya dengan kuat, "mau, mau!" ucapnya semangat!

"Baiklah, kita bertiga akan mengejutkan Shirohige-jii dan lainnya minggu nanti, setuju?"

"Uh-huh!" kali ini Mari mengangguk, senyumnya terlihat luar biasa cerah, "Arigatou, Marco-jichaaaan~"

"Hai, hai, sekarang kembali tidur... hujan juga sudah reda, kau mau kembali ke kamarmu?" tawar Marco, ia menatap jendela kamar Sabo dan sedikit terkejut saat hujan ternyata sudah berhenti.

"... Hehehe, sepertinya Sabo-nii butuh teman, jadi Mari tidur di sini saja deh, Marco-jichan juga mau tidur di sini?"

Tawa Marco pun kembali terdengar, ia mengacak surai hitam sang gadis dan menggelengkan kepalanya, "Kau temani saja Sabo-nii di sini, Ojichan masih ada sedikit urusan," katanya, ia mengecup kening Mari dengan lembut dan berbisik pelan, "oyasumi, Mari-chan."

"Hai! Oyasumi, Marco-jichan~"

Sesaat setelah keluar dari kamar Sabo, pikiran Marco kembali ke keponakannya, gadis kecilnya itu tiba-tiba mengatakan ia bermimpi tentang Oyaji, dan tadi dirinya juga sempat memikirkan Oyaji. Kompak sekali mereka. Apa mungkin Oyaji di sana memikirkan yang di sini?

Atau mungkin ini disebabkan karena sudah lebih dari empat bulan mereka belum mengunjungi Shirohige Mansion? Bukan sepenuhnya salahnya juga. Sabo ada kegiatan penting di kampus sedangkan Mari juga ada tugas-tugas penting dari sekolah, mereka tidak berada dalam kondisi yang bisa diajak berlibur. Marco sendiri? Tugas kantor yang menumpuk bahkan sempat menjauhkannya dari Sabo dan Mari beberapa waktu yang lalu.

Mungkin memang sudah saatnya mereka pulang. Dan mendengar teriakan Izou setiap kali pemuda cantik itu meneleponnya dan menjejalinya dengan pertanyaan tentang Sabo dan Mari, pasti Izou juga sangat ingin bertemu mereka.

"Hhhh, dasar," Marco menggumam pelan, ia kembali menuruni tangga menuju kamarnya di lantai bawah. Ia jadi tidak sabar untuk menyambut akhir pekan.


The End  


UWAAAAAAAAAAAAAAA.......

EHM!

Kali ini fict-nya murni family yaaaaa~

Ugh! Pasti akhir pekan mereka bakal seru banget tuh karena mereka akan BERKUNJUNG KE SHIROHIGE MANSION!!!!! MAU KETEMU MBAH SHIRO, PAMAN THATCH, TANTE IZOU... MBAK HARUTA, PAMAN VISTA, PAMAN JOZU DAN LAINNYA, HAHAHAHAHA

Seperti kata Om Marco di akhir fict, GAK SABAR UNTUK MENYAMBUT AKHIR PEKAN! ULALALA LOL

Pasti seru banget nulis tentang Shirohige Family + Mari + Sabo~ kyaaaaaaaa /heh/ gak jamannya maso sekarang lol (padahal biasanya maso mulu nih anak)

Aye!! Hmmmm, entar kalo bisa masukin bang Ace juga ah /UOHOK!!!!! #dibalangraket

Ahahahahaha tunggulah, bang Ace.... Mari akan menyempilkan kisah coretmaniscoret antara kamu dan Om Marco HAHAHAHAHAHAHA /padahal dia agak mengkhawatirkan kalo disuruh nulis romance /nyemplung kali

Sudah ngocehnyaaaa...
Abang~ 
Ih, cakep banget nih si abang~ eniwei, kapan-kapan bikin cerita dimana Mari dan Law yang sedang uhukkencanuhuk gak sengaja ketemu Sabo dan Koala yang juga sedang kencan, terus akhirnya mereka malah nyetalk Sabo dan Koala, ah, HAHAHAHAHAHA /catet/ kayaknya seru~ #jedeerrr

Om~ 
Yay! Sudah selesaaaai... sebenarnya Mari bikin gif Mbah Shiro juga... tapi itu buat fict selanjutnya aja deh, itu lho... mereka bertiga mau ke tempat mbah Shirohige~ ayayayayai XD

Sudah selesai fictnyaaaaa.... makasih buat yang sudah baca... sankyuuu... 

See you next time~

No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger

Translate

Awesome Inc. theme. Powered by Blogger.