(~●ω●)~ ~(●ω●)~ ~(●ω●~) Hello, Mari-chan is here ★★★ A cheerful, sweet, innocent and light idiot girl who loves Trafalgar Law more than anyone ♡♡♡ Trafalgar Law's Wife ♡ Fushichou Marco's Niece ★★ Sabo & Echizen Ryoga's Sister★ ★ Whitebeard Pirates & Heart Pirates ★★ Kaidou Kaoru and Momoshiro Takeshi's Bestfriend ★★ One Piece ── One Piece Live Attraction ★ Prince of Tennis ★ Hunter X Hunter ★ Death Note ★ MarcoAce is Life. MarcoAce is Love ♥ Sweet Combi ♥ Rival Pair ♥ Seigaku ★ Extremely biased towards Ishiwatari Mashu and Kimura Tatsunari ♥ Yoroshiku ♥ and welcome to my (weird) blog (ノ゚▽゚)ノ

Wednesday 15 June 2016

You Want What?

Dua pasang mata berbeda warna menatap tajam pemuda pertengahan duapuluhan tahun yang masih duduk tenang di salah satu ruangan di dalam rumah pemilik dua pasang mata tadi. Pemuda yang ditatap oleh dua manusia pirang di depannya hanya memutar bola matanya.

"Kau mau apa?"

Pertanyaan yang sama dan masih berasal dari sosok yang sama, si pirang yang lebih dewasa. Sementara si pirang yang lebih muda masih menatapnya dengan pandangan kau-pasti-bercanda.

"Sudah kukatakan tadi, Marco-ya... perlukah kuulangi," Law menjawab datar.

"Ulangi sekali lagi, Dokter Menyebalkan!" Sabo menghardik cepat, tidak suka saat ada seseorang bersikap tidak sopan kepada Marco.

"Yare yare... Maksud kedatanganku ke sini. Ingin meminta izin kalian berdua untuk menikahi Mari."

"KAU PASTI BERCANDA!" Marco dan Sabo berteriak kompak, memberikan tatapan tajam kepada sang dokter muda.

Law menghela napas, sepertinya ini akan sedikit lebih susah dari perkiraannya.





One Piece © Eiichiro Oda 

You Want What? © Mari-chan 




Law membaca buku yang berisi data tentang pasien-pasiennya dengan napas berat. Di antara banyaknya nama pasien yang tercatat di sana, matanya tetap saja tertuju pada satu nama, Fujisaki Mari.

Gadis itu sudah menjadi pasiennya sejak lama... bahkan dirinya secara egois dan semaunya sendiri sudah mengklaimnya sebagai pasien pribadi jauh sebelum ia sendiri masuk kuliah dan menjadi dokter.

Law pertama kali bertemu dengannya saat usianya tiga belas tahun. Hari itu, hari pertama juga baginya menginjakkan kaki di kota Tokyo. Ia dan ayah angkatnya berasal dari North Blue. Kedua orang tua Law dan juga adik kandungnya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan dan sekarang ia tinggal bersama ayah angkatnya─Corazon a.k.a Donquixote Rosinante.

"Law, ini es krim untukmu, aku ada urusan sebentar di sana, kau duduk dulu di sini, ya, jangan ke mana-mana, kalau kau tersesat, aku yang akan repot, haha."

Law menatap pria pirang dengan dandanan mencolok mata itu dengan tatapan datar kemudian mengangguk sekilas dan setelah ayah angkatnya menghilang dari pandangannya, barulah ia fokus ke es krimnya.

Tiga menit berlalu dan Law belum melakukan apa pun pada es krim di tangannya. Dia bukan pecinta es krim meski es krim adalah makanan favorit anak-anak. Dirinya 'kan tidak sama dengan anak-anak lain.

"Ne, kalau kau tidak cepat-cepat memakannya, es krimnya akan meleleh."

Mata hitam Law melirik singkat.

Seorang gadis kecil berdiri di sampingnya, entah sejak kapan. Mata besarnya yang memancarkan semangat luar biasa bertemu dengan mata tajam Law. Gadis itu memiliki surai hitam panjang, sebagian helaian hitamnya dikuncir dengan jepitan berbentuk buah stroberi. Mengenakan rok terusan berwarna putih beserta bawahan celana 3/4 berwarna gelap. Jika dilihat dari postur, anak ini mungkin masih TK.

"Kau tidak suka es krim?"

Law tak merespon. Siapa gadis ini? Sok tahu sekali. Batinnya.

Anak lelaki tiga belas tahun ini pun akhirnya tak menggubris sedikit pun gadis kecil yang masih berdiri tenang di sampingnya dan perlahan memakan es krimnya.

Ugh. Terlalu manis.

Dan Law tidak suka makanan yang terlalu manis. Makanan manis tidak cocok untuknya. Pernahkah Law mengatakan bahwa dia sangat pemilih dalam hal makanan? Ya, dia baru saja mengatakannya.

Suara tawa kecil membuat Law mendelik tajam, ditatapnya sesosok gadis yang tadi sempat menginterupsi kegiatannya dan gadis itu tengah tertawa. Hell, apanya yang lucu.

"Kenapa kau tertawa, hah!" bentaknya galak.

"Ada es krim di mulutmu," mata gelap Law melebar dan semburat merah tipis terukir manis di kedua pipinya saat gadis itu mengusap mulutnya dengan tisu.

Sial!!!

You Want What? 


"Aku tidak pernah melihatmu di sini, kau baru pindah, ya?"

Law mendengus. Gadis yang sekarang duduk di sampingnya dan sedang menggerak-gerakkan kedua kakinya seperti anak kecil ini benar-benar sok tahu. Iya, wajar saja dia seperti anak kecil. Dia masih TK. Pikirnya yang juga sok tahu.

"Namaku Fujisaki Mari, aku kelas dua SD, yoroshiku!"

"Dua?" pemuda kecil dengan topi bulu ini mengangkat sebelah alis dan kembali memperhatikan gadis yang duduk di sampingnya yang baru saja memperkenalkan diri sebagai Fujisaki Mari itu.

Kelas dua? Berarti usianya tujuh tahun? Usia tujuh tahun tapi kenapa kecil sekali? Law mendengus dan kembali sibuk dengan es krimnya yang sudah meleleh sebagian, "Kupikir kau masih TK."

"Moou," suara pekikan mengalun pelan, Law berani menebak, pasti gadis itu mengerucutkan bibirnya. Tapi sekali lagi, Law tidak peduli dan kembali sibuk menghabiskan es krimnya yang demi apa pun terlalu manis, "Bagaimana denganmu?"

Hening menyambut.

Law refleks menolehkan kepalanya, menatap gadis bernama Mari yang masih memasang wajah ceria dan penuh penasaran.

Ini pertama kalinya ada seseorang yang ingin tahu tentang dirinya setelah kejadian itu. Setelah itu, Law memang jadi anak yang sangat pendiam, membuat orang-orang di sekitarnya menjauhinya. Bagi mereka, Law itu membosankan, tatapan matanya bahkan bisa membuat gadis-gadis seusianya menangis.

Lagipula Law lebih suka sendiri. Bersama yang lain itu menyebalkan dan merepotkan.

Tapi... gadis ini... bukannya takut pada Law. Dia malah mencoba mengajaknya berbicara. Gadis ini juga orang asing pertama yang berani menyentuhnya setelah peristiwa dua tahun lalu.

Ingin sekali Law marah karena sikap Mari yang seenaknya. Tapi saat tangan kecil─yang demi apa pun sangat kecil dan terlihat rapuh─itu menyentuh bibirnya(dengan tisu) ia seolah terpaku dan tak bisa mengelak.

Hh. Gadis aneh. Bicara dengan orang asing dan melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dia lakukan ke orang asing juga. Jangan-jangan keluarganya tidak pernah mengajarinya tentang 'dilarang bersikap baik pada orang yang baru kau kenal'.

Semenit berlalu, Law kembali memasang wajah cuek dan membuang bungkus es krimnya di tempat sampah yang terletak tepat di sebelahnya duduk, "Siapa namaku itu tidak penting. Kau ini berisik!" responnya.

Tak adanya sahutan dari sosok di sebelahnya membuat Law menghembuskan napas. Ia pikir Mari berbeda dan tetap akan berbicara padanya meski ucapannya kasar. Ternyata sama saja. Sudahlah. Sudah biasa.

Tapi... keheningan kali ini terasa lain. Apa karena kali ini Law tidak sendiri? Dan ini benar-benar membuatnya tidak nyaman. Kepala berhelai biru kehitamannya akhirnya─entah untuk yang ke berapa kalinya sejak bertemu gadis itu─kembali menoleh. Dan bola mata hitamnya membulat melihat ekspresi sang gadis.

Mata besar yang tadinya menyiratkan semangat luar biasa kini terlihat redup dan berkaca-kaca. Bibir gadis itu bergetar, dan kedua pipinya memerah serta menggembung.

Gawat. Law bergidik. Dari ekspresinya, gadis itu pasti akan─

"Huuuuuuaaaaaa.... Marco-jichaaaaaaaan."

─Menangis.

"Oi," Law berusaha melakukan sesuatu untuk menghentikan tangisan Mari. Sebelum Cora-san datang dan mengira dia menjahati seorang gadis kecil berusia tujuh tahun. Ugh. Ia tidak melakukan hal buruk. Lalu kenapa gadis itu menangis, sih? Law menggerutu.

Oh, jadi menurutmu ucapan kasar untuk seorang gadis manis itu bukan kejahatan, ya, Law?

"Aku─hei!"

Sebuah jitakan dengan sukses didapatkan oleh Law, membuatnya menghentikan aksinya─mencoba menenangkan tangis anak usia tujuh tahun─dan meringis kesakitan. Ia mengusap kepala bertopinya sejenak sebelum menatap tajam seseorang yang baru saja mendaratkan jitakan ke kepalanya.

Seorang pemuda atau pria yang usianya terlihat tidak jauh beda dengan Cora-san berdiri di depannya. Pria tinggi itu juga memiliki rambut pirang seperti Cora-san. Dan matanya. Biru. Biru?

"Uh-huh, Marco-jichaaaan!"

Gadis yang menangis itu memeluk erat pria yang tadi menjitak Law. Membuatnya secara tidak sadar mencibir. Dasar gadis manja. Begitu saja nangis.

Pria pirang itu mengangkat tubuh kecil Mari dan memeluknya erat, sementara sang gadis melingkarkan tangan kecilnya ke leher pria itu dan menenggelamkan wajahnya ke lehernya.

Dan yang membuatnya menatap mereka lebih lama adalah, cara gadis itu memanggil pria pirang yang tadi. Dia memanggilnya dengan sebutan 'Jichan' berarti pria pirang itu bukan ayahnya.

Jika dilihat dari segi mana pun, mereka berdua memang tidak mirip. Mari memiliki rambut hitam pekat, mata besar yang juga berwarna hitam, belum lagi kulitnya yang terlalu putih. Sedangkan pria itu, dia pirang dengan manik biru yang terlihat tajam dan kulit tan. Sudah jelas mereka bukan ayah dan anak.

"Marco, kau menjitak anakku."

Cora-san berucap pelan dengan sedikit gerutuan dari nadanya, meski terdengar hanya bercanda. Tunggu? Cora-san mengenal pria itu?

"Dia membuat anakku menangis."

Huh! Law menghembuskan napas kesal.

Anak? Mari bukan anaknya 'kan? Mereka terlihat sangat berbeda.


You Want What?

"Marco-ya."

"Mungkin kau lupa, tapi aku tidak akan melupakan hari itu. Kau yang baru pertama bertemu dengan Mari malah langsung membuatnya menangis."

"Tapi aku serius."

"Kau pikir aku setuju Mari menikah denganmu! Langkahi dulu─"

"Sabo-kun, dilarang mengucapkan hal-hal kasar."

"Ugh!"

Hening kembali terjadi. Ketiga laki-laki yang masih berbincang santai─santai? Tolonglah, dua lelaki pirang itu bahkan sudah memiliki niat melempar laki-laki bertopi bulu lewat jendela rumah mereka─terlihat masih nyaman di dalam ruang tamu rumah Marco.

"Kenapa?"

Law menatap dua manik sewarna langit pria yang usianya tak jauh beda dengan Cora-san, mata biru cerah itu menatapnya dengan pandangan yang mengintimidasi meski Law tak melihat kebencian dari sana.

Law bukanlah orang yang pintar berkata-kata, selama ini Mari yang selalu berbicara panjang dan lebar dan kadang tidak jelas. Kuota bicara sang dokter muda pun tak pernah terpakai jika sedang jalan dengan Mari. Dengan pasien-pasiennya pun, Law termasuk dokter yang tak banyak bicara.

Maka saat pertanyaan sederhana dari Marco itu terucap. Dirinya benar-benar tidak tahu bagaimana harus merespon.


You Want What? 


"Dia anakmu?"

Cora-san mengeluarkan cengiran lebar mendengar pertanyaan pria itu, yang masih juga menggendong Mari. Meski mereka sudah dalam posisi duduk, gadis cengeng itu masih saja tidak mau lepas darinya. Cih, manja. Gerutuan tak henti-hentinya menguar dari Law.

"Iya, namanya Trafalgar Law," ucap Cora-san seraya menepuk pundak Law dengan kencang, ugh.

"Trafalgar?" pria yang Law ketahui bernama Marco itu mengguman. Membuat mata hitam Law menatap penuh selidik gelagat teman Cora-san yang balas menatapnya, manik biru itu... entah kenapa... terasa sedikit membius, apakah karena selama ini Law tidak pernah bertatapan dengan manik sewarna laut seperti itu sebelumnya?

"....sepertinya aku pernah mendengar nama itu," dan Law berani bersumpah, dari ucapan pria itu, ia merasa jika lelaki di samping Cora-san itu bukan orang sembarangan. Dan dia mengenal keluarga Law.

"Ah, kau pria yang pintar, Marco... jangan pura-pura bodoh begitu."

Marco tertawa mendengar celetukan Cora-san.

"Lalu, gadis kecil itu?"

Law tersentak. Ia kira obrolan dua orang dewasa itu hanya akan berputar tentang mereka. Biasa, urusan orang-orang dewasa yang Law tidak peduli. Tapi, tiba-tiba obrolan mereka jatuh pada Mari.

Dari sudut matanya, Law melihat Marco menepuk kepala Mari dengan pelan dan tersenyum lembut, pria itu juga terlihat membisikkan sesuatu ke telinga sang gadis yang dengan sukses membuat Mari melepaskan diri dan bergegas turun dari pangkuannya.

Gadis itu berdiri dan tersenyum─uhuk, manis─ke arah Cora-san dan juga dirinya. Surai hitamnya bergoyang tertiup angin taman yang lembut.

"Nama saya Fujisaki Mari, yoroshiku, Rosinante-san," ucap gadis itu dan dia membungkukkan badannya. Dia tahu nama Cora-san?

Mata gelap Cora-san berbinar cerah yang Law tebak pasti karena gadis itu. Che, menyebalkan.

Pria yang sudah Law anggap sebagai ayah sendiri itu berdiri dari duduknya dan memeluk erat tubuh kecil Mari yang masih membungkukkan badannya, "Kau manis sekali, Mari-chan... Apa Marco yang mengajarimu? Kau benar-benar manis..."

Law memutar bola matanya. Apanya yang manis. Huh. Law bahkan bisa lebih baik dari itu. Hanya seperti itu saja.

Tapi... Dibandingkan dengan Mari yang memperkenalkan diri dengan cara yang eerr─sopan seperti itu, Law memang tidak ada apa-apanya. Bukannya memberikan kesan sebagai anak baik, Law malah membentak Mari dan mendelik tajam pada Marco.

"Arigatou, Rosinante-san..."

Kenapa sekarang Law jadi memikirkan perbedaan dirinya dengan anak lain hanya karena pertemuan singkatnya dengan gadis bernama Mari itu? Menyebalkan sekali.


You Want What?.

"Mari adalah gadis yang sangat kami sayangi, dia lebih berharga dari pada seluruh harta karun di dunia ini, setidaknya bagi keluarga besar Shirohige, Law."

Law tak merespon, menunggu kelanjutan cerita Marco dengan tenang di tempatnya duduk. Baginya, Mari pun sangat berharga. Lebih berharga dari pada apa pun di dunia ini.

"Dan mengingat kau sudah mengenalnya sejak dia kecil, bahkan menjadi dokternya, kau pasti sangat mengerti bagaimana dia.... 'kan?"

Ia tahu. Marco membicarakan kondisi Mari. Jelas Law tahu. Law sangat paham bagaimana gadis itu. Karena itu juga alasan utama Law datang hari ini.

"Pikirkanlah lagi... aku tidak mau kau menyesal nantinya. Bagaimana pun juga, aku sangat berterima kasih padamu yang membantu kami merawat Mari, kau juga berhak mendapat kebahagiaan, Law. Aku tidak akan menyetujuinya jika keinginanmu menikahi Mari adalah karena alasan tanggung jawab."

Law mengepalkan tangannya mendengar ucapan Marco. Ia tidak marah. Ia malah tersentuh Marco memikirkan kebahagiaannya. Marco dan Cora-san berteman sejak lama. Pasti mereka banyak bertukar cerita. Tentang anak-anaknya yang jelas.

Pertemuan mereka sepuluh tahun yang lalu itu menjadi bukti nyata. Mereka yang baru bertemu setelah sekian lama malah membicarakan Mari dan Law. Dan... Law juga pasti sadar bahwa Marco mengetahui semua masa lalunya. Entah dari Cora-san atau dari dirinya sendiri. Cora-san mengatakan Marco adalah lelaki yang sangat pintar. Tidak menutup kemungkinan 'kan lelaki itu mencari informasi tentang keluarganya.

Tapi... alasan utama Law ingin menikahi Mari bukan karena kasihan atau merasa terbebani tanggung jawab bahwa gadis itu sakit-sakitan dan membutuhkannya.

Law benar-benar menyayanginya. Mari adalah orang pertama yang membuatnya merasakan perasaan seperti ini. Apa Marco tidak sadar? Dia 'kan pintar.

"Law?"


You Want What? 


Marco dan Sabo masih terdiam di ruang tamu. Tamu mereka─Trafalgar Law─sudah beranjak dari ruangan itu kira-kira sepuluh menit lalu. Tapi, dua manusia pirang ini masih belum tahu harus berkata apa setelah kepergian sang dokter.

Ini mungkin pertama kali dalam hidup mereka mendengar pengakuan dari Law tentang Mari.

Selama ini yang mereka tahu, Law adalah pemuda yang kasar tapi memiliki hati yang baik. Law juga semaunya sendiri meski perhatiannya pada Mari terlihat jelas dari semua tindakannya. Dan yang paling khas darinya adalah, dia tidak banyak bicara. Tapi... mendengar ucapan Law tadi, mereka benar-benar mematung.

Sebenarnya... apa yang sudah Mari lakukan pada pemuda itu?

"Marco-san?"

Marco menepuk kepala Sabo dan tersenyum tipis.

Apa lagi yang ia coba pertanyakan tentang keponakan perempuannya. Seharusnya dirinya yang paling tahu tentang Mari. Gadis itu memang penuh keajaiban dan luar biasa. Padahal yang bisa dilakukannya hanya menangis. Tapi... keceriaannya, kebaikan hatinya dan senyumnya itu yang menjadi pesona terkuat dari gadis kecilnya.

Meski Mari adalah gadis kecil yang lemah, egois, keras kepala, cerewet dan kadang merepotkan, tapi kehangatan yang dia berikan pada orang-orang di sekelilingnya mampu melumpuhkan segalanya. Dia bahkan bisa melunakkan 'batu'.

Sebenarnya yang ia klaim sebagai anaknya itu manusia atau malaikat? Ah, jelas dia manusia... malaikat mana ada yang cengeng dan egois seperti Mari?

"Sabo-kun... sepertinya kau akan dilangkahi oleh adikmu," celetuk Marco yang diakhiri kekehannya.

"Che, seharusnya aku tolak saja tadi lamaran si dokter menyebalkan itu!"

Marco kembali menepuk kepala Sabo. Ia tahu meski ucapan Sabo kasar jika sudah berbicara dengan Law, dalam hati pemuda itu suka dengannya. Karena Mari terlihat bahagia jika bersamanya. Tapi gengsinya yang terlalu tinggi menutupi perasaannya.

"Dokter Menyebalkan. Awas saja jika dia membuat adikku menangis nantinya."

Dasar sister complex akut.


The End 


UHUK!!!!!!!

CIEEEEEEE.... LAW CIIIIEEEEEEEE.... Langsung menemui orang tua Mari, ciiieeee /heh

Gitu tuh, cowok keren... bilang langsung ke orang tua si cewek kalo dia mau nikahin si ceweknya. Gak sembarangan... dan bagi Mari, cowok seperti Law itu ASDFGHJKSHDHDGD LUAR BIASAAAA >//////< IH, SAYA JATUH CINTAAAAA #duagh

Btw, sebenarnya saya bingung sih, Law dan Mari 'kan belum pacaran ya O.O hubungan mereka masih sebatas Dokter-Pasien. Ya, meski Mari juga cinta banget sama Law sih, lol

Terus, aiiiihhh... dan Law hasemeleh banget, maaaaaaaaaaak /jleb/ ngelamarnya bukan ke Mari, malah langsung ke Marco, HAHAHAHAHAHAHA /woi

UGH >////< 
Omake 






"Traffy? Ada apa?"

Law membuka mulutnya untuk berbicara tapi anehnya, tak ada suara yang terdengar. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan dan keringat terasa mengalir dari pelipisnya.

Kenapa dengannya?

Saat berbicara dengan Marco dan Sabo, dirinya lebih percaya diri. Tapi, ketika berhadapan dengan Mari, kenapa dia malah jadi gugup begini?

Law menelan ludahnya seolah menelan pasir. Kedua telapak tangannya berkeringat dan jantungnya berdegup kencang. Sangat kencang sampai ia merasa jika Mari bisa mendengarnya.

Holyshit!

Law tidak pernah seperti ini sebelumnya. Iya. Sejak kecil, Law selalu penuh percaya diri. Saat hampir seluruh teman-temannya dilanda gugup ketika ujian masuk fakultas kedokteran, dirinya juga tidak gugup sama sekali.

Tapi kenapa sekarang? Di hadapan seorang gadis tujuh belas tahun dirinya jadi pengecut seperti ini?

"Traffy? Ada masalah kah?"

Sebutir keringat menetes dari pelipis sang dokter bedah. Di luar dugaan. Ini lebih susah dari pada berbicara dengan Marco dan Sabo.

"... Mari?"

"Ya?"

Keheningan menyelimuti Law dan Mari yang tengah duduk santai sambil makan malam di sebuah restoran langganan mereka. Hening yang terasa aneh karena tidak biasanya hening terjadi jika dua orang ini makan di sini.

Biasanya Mari akan ngoceh tak jelas di sela makan. Tapi kali ini... apa karena Law mengatakan ada yang ingin ia bicarakan, sehingga gadis itu diam saja dan menunggunya? Sial!

"Ne, Traffy?"

".... habiskan makanannya setelah itu kuantar kau pulang."

Krik!

Oke. Mungkin tidak sekarang ia mengatakannya pada Mari. Masih ada hari esok. Iya, yang penting ia sudah mendapat restu dari Marco dan Sabo.

"Eh?" bola mata hitam milik Mari membulat lucu sebelum kemudian ia tertawa pelan, "Kupikir ada hal penting yang ingin Traffy bicarakan, habisnya ekspresi Traffy serius sekali tadi," ucapnya.

Law mengalihkan pandangan dari gadis di depannya, wajahnya juga menghangat mendengar celetukan gadis berhelai panjang itu, semoga wajahnya tidak memerah.

Sebenarnya memang ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh Law pada Mari, tapi melihat kepolosan gadis kelas dua SMA ini membuatnya tak bisa mengeluarkan untaian kalimat yang sudah ia susun rapih.

Ugh, Law benar-benar merasa gagal menjadi laki-laki sejati. 

Owari 

No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger

Translate

Awesome Inc. theme. Powered by Blogger.